top of page
Search
  • Writer's picturePrau

Art & Development : Kebudayaan Aksara

Kebudayaan lokal merupakan masa lalu yang menjadi nilai-nilai tempat bertumbuhnya gagasan Pembangunan modern. Dalam gagasan Pembangunan, orientasi merupakan suatu hal yang penting untuk mengukur progress dalam mencapai kemajuan. Hal ini menunjukkan, meksipun modernisasi adalah gagasan tentang pembangunan global, namun kebudayaan lokal merupakan sisi-akar sebagai masa lalu dalam arena pembangunan. Dalam pengejawantahannya, modernitas telah membentuk pandangan kebudayaan baru, yang oleh beberapa pemikir post-modern dipandang sebagai budaya pop. Akan tetapi banyak praktik-praktik pembangunan yang masih menggunakan dan mencampurkan pandangan lokalitas tersebut ke dalam epos pembangunan modern.



Hal ini dapat terlihat dari perkembangan seni, dimana seni merupakan produk dari kebudayaan. Seni mewakili gagasan-gagasan dalam suatu pembangunan lokal yang mewakili pandangan manusia terhadap nature-nya. Seni-seni tradisional umumnya tidak pernah terlepas dari hal ini, dan mengupayakan kesenadaan ritmenya terhadap nature dimana ia berada.

Salah satu hal dalam seni yang sangat berperan dalam pembentukan Pembangunan adalah bahasa dan aksara, dimana keduanya digunakan untuk menggambarkan konsep ke-diri-an suatu kebudayaan sekaligus metode berkomunikasi untuk menyebarkan gagasan dan kebijakan dalam pembangunan. Namun dalam pembahasan ini, lokalitas dalam kebudayaan juga menyebabkan perbedaan ekspresi bahasa yang diwakili dengan bentuk-bentuk aksara. Lokalitas bahasa dalam sebuah kebudayaan, mewakili kompleksitas pandangan terhadap fenomena di sekitarnya.

Aksara merupakan simbol tesktual yang mewakili bunyi-bunyian (fonem) yang membentuk satuan terkecil bahasa yang telah memiliki makna (morfem). Bunyi-bunyian ini tersimpan dalam sebuah ekspresi visual yang menampilkan hasrat dan cara pandang suatu kebudayaan dalam melihat sesuatu, yang umumnya adalah fenomena di sekitarnya, sehingga aksara seringkali mencerminkan nature dan pandangan tentang manusia.

Sebagai contoh yang dapat dilihat ialah aksara Arab, yang pada penggunaan umumnya tidak memiliki tanda baca dan hanya dapat dibaca bagi orang-orang yang telah mengetahui bunyi dan kata-katanya, mewakili konteks nature di tempat dimana aksara ini tumbuh dan digunakan. Aksara ini kemudian berkembang pada masa penyebaran agama Islam di bumi Melayu, yang menyebabkan penggunaan aksara tersebut juga bertransisi untuk lebih menyesuaikan keadaan nature setempat, yang memiliki bunyi-bunyian berbeda dengan kebudayaan arab dan melahirkan aksara Arab-Melayu. Perbedaan kedua aksara ini khusus pada beberapa bunyi seperti c (ج ), g (غ), p (ف), g (ك), ny (ث) dimana pada Arab Melayu, aksara ini memiliki perubahan/tambahan titik sebagai penanda yang mempertegas bentuk bunyi pada huruf.

Contoh lain yang dapat dilihat adalah perbedaan aksara ‘hiragana’ dan ‘katakana’ dalam bahasa Jepang, yang memperlihatkan eksternalitas dan internalitas pada kebudayaan. Dalam penggunaan aksara ini, setiap hal yang merupakan produk atau serapan dari kebudayaan luar akan ditulis dengan aksara ‘katakana’ sehingga memudahkan masyarakat Jepang dalam memahami yang dalam dan yang luar. Ditambah, penggunaan aksara kanji pada bahasa Jepang dan Cina yang merupakan simbolisasi dari nature ataupun fenomena sekitarnya. Sebagai contoh aksara (山) yang mewakili kata ‘gunung’ aksara (川) yang mewakili kata sungai, dan aksara (森)  yang mewakili kata ‘hutan’. Pada fenomena manusia, aksara kanji Jepang menggunakan aksara (男) untuk mewakili laki-laki, dan aksara (女) untuk mewakili perempuan. Masing-masing bentuk ini, mewakili gambaran baik bentuk dan konstruksi sosial tentang sikap benda-benda yang diwakili aksara tersebut.

Pada contoh di Indonesia, terdapat dua kebudayaan yang memiliki aksara yang sama, namun memiliki perbedaan perilaku dalam memandang kebudayaannya : kebudayaan Jawa dan kebudayaan Bali. Pada prinsipnya, keduanya sama-sama menggunakan aksara ‘hanacaraka’ yang berawal dari Legenda Aji-Saka, dan merupakan turunan dari aksara jenis abugida turunan dari aksara Brahmi Sansekerta. Aksara Jawa sendiri saat ini merupakan varian yang diperbaharui pada era Kawi, yang merupakan pengembangan dengan aksara Pallawa. Namun, pun memiliki dasar yang sama, perkembangan Pembangunan (dalam sudut pandang kerajaan kuno, terkait Nusantara) masing-masing kebudayaan juga turut mempengaruhi perubahan varian dan bentuk aksara tersebut. Pun demikian, prinsipnya tetap sama : mewakili pandangan terhadap nature (ekosistem dan perubahan/dampak alam akibat pembangunan) yang dibaca, disimpan dan disampaikan sehingga membentuk construct sosial. Hal ini kemudian menyebabkan perubahan aksen, emosi, serta tata kelola perkampungan pada masyarakat-masyarakat lokal.

Namun sejak dunia memasuki abad modern, kolonialisme di Indonesia juga membawa masuk pengaruh-pengaruh kebudayaan Barat yang juga ikut mempengaruhi perubahan penggunaan terhadap aksara. Di wilayah yang kelak disebut Indonesia, saat itu memiliki banyak sekali aksara induk, yang diantaranya adalah : Jawa-Bali, Sunda, Lontara Bugis Rejang, Lampung, Batak, Pakpak, Kerinci dan Arab-Melayu. Akan tetapi, sejak berdirinya negara Indonesia yang menggabungkan ragam etnis kebudayaan di wilayah perairan tersebut, tak satupun aksara lokal yang digunakan dan justru menggunakan aksara Latin yang saat itu disetujui sebagai aksara global. Hal ini mungkin terlihat sederhana, namun juga mempengaruhi bergaungnya lagu Indonesia Raya sebagai lagu Kemerdekaan Indonesia yang dinyanyikan dengan nada-nada ‘aksen’ dari Tangga Nada C (natural) dan dengan irama Maestoso con bravura (kecepatan metronome 104) yang dinyanyikan oleh sekumpulan kebudayaan yang tidak memiliki ekspresi seni tersebut dalam sejarah keseniannya.

Spirit aksara Latin tersebut juga mempengaruhi konsep dan tradisi berfikir yang terjadi di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Aksara Latin yang kemudian digunakan sebagai imagery dari simbol-simbol bunyi dalam bahasa Indonesia, mengubah struktur bunyi dan intonasi yang pada masa berikutnya membentuk pandangan yang sama sekali baru terhadap arena kebudayaannya. Meski tak terlepas sepenuhnya, perubahan aksara lokal menjadi aksara latin juga mempengaruhi struktur bunyi-bunyi khusus yang tidak dapat diwakili dalam aksara Latin di Indonesia. Akibatnya, aksen tersebut tidak tersampaikan dan menyebabkan munculnya penyebaran pengetahuan tradisional di Indonesia modern secara lisan. Hal ini disebabkan kerena aksara Latin diyakini tidak dapat mewakili struktur bunyi asli dalam bahasa tersebut dan menyebabkan transkripsi filologi sering mengalami hambatan. Akibatnya, banyak naskah-naskah kuno yang menginformasikan masa lalu arena kebudayaan ini disimpan dan tak terbaca. Kondisi ini dipertegas dengan munculnya penemuan-penemuan serat, kitab dan suluk yang menggunakan aksara lokal. Dan dalam kajian arkeologi sendiri, relief pada candi dilihat sebagai sebuah aksara tanpa bunyi yang mewakili sebuah cerita.

1 view0 comments

Recent Posts

See All

VASTHU / / E(S)TETIKA

Elemen paling penting dalam estetika adalah cahaya, katanya. Tapi kegelapan juga penting dalam elemen estetika kerena kegelapan...

Comentários


bottom of page