top of page
Search
  • Writer's picturePrau

NAFAS KEHIDUPAN MELALUI ARSITEKTUR



ARSITEKTUR, WADAH MENGADA DAN BERADA.

Manusia selalu membutuhkan tempat untuk mewujudkan dunianya sebagai ruang untuk mengada dan berada. Dengan begitu, maka tepatlah jika manusia disebut sebagai makhluk eksistensial, yang menanggapi sekaligus terlibat dalam lingkungan tempat tinggalnya. Dalam melakukan kegiatan kehidupan, manusia membentuk dunianya sesuai gambaran citra yang ditangkap melalui pengalaman indrawi dan persepsi sehingga dengannya dapat menampilkan wujud tata kelola lingkungan dalam bentuk-bentuk arsitektur. Maka itu arsitektur menjadi objek fisik paling melekat dengan dunia manusia yang tak ada manusia dapat menghindar darinya. Cobalah untuk keluar dari rumah, sebuah bangunan tinggal yang menampung setiap aktifitas mikro manusia, maka akan dihadapkan dengan tata kelola arsitektur perkotaan/perkampungan yang melibatkan rangkaian arsitektur lebih luas lagi, yang menampung setiap pertemuan aktifitas manusia. Dan cobalah lagi untuk keluar dari tata kelola perkotaan/perkampungan, maka akan lagi bertemu dengan objek fisik alam seperti gunung, sungai, hutan, lautan yang merupakan rangkaian objek dalam tata kelola lingkungan alam hasil karya Sang-Arsitek Agung yang memperlihatkan rangkaian ekosistem dalam sebuah kesaling-hubungan baik citra, guna serta daya. Lebih jauh, jika manusia mencoba keluar dari lingkungan alam bumi, manusia akan berhadapan dengan tata kelola kosmik (tata surya) yang memperlihatkan grand-design dalam skema penciptaan. Ia menunjukkan bahwa segala aktifitas saling terpengaruh dan mempengaruhi. Tak ada satupun yang terpisah.


Hal ini yang menjadi dasar pandangan bahwa arsitektur masa awal selalu hadir dalam konteks kosmik yang menunjukkan posisi dimana ia berada, dengan mengejawantahkan penghayatan keberadaan manusia terhadap tempatnya, lingkungan alam dimana ia berada. Dalam kebudayaan manusia, arsitektur pada masa itu hadir sebagai sebuah kegiatan bertukang (architecture dalam bahasa Latin berasal dari kata archi dan tecton yang berarti ‘tukang (pekerja) batu’). Pendekatan ini berbeda hal dengan kata ‘mendesain’ yang membutuhkan kompleksitas pertimbangan lebih dalam dibanding kegiatan arsitektur. Pendekatan ‘bertukang’ memahami kegiatan ber-arsitektur sebagai upaya menampilkan wujud citra bangunan yang memerlukan pengalaman khusus dengan keterampilan dan penguasaan terhadap sifat serta karakter objek alam yang menjadi bahan-bahan bangunan.


Bentuk bangunan arsitektur yang mewaktu, baik dari citra hingga guna, memanifestasikan dunia manusia dan menunjukkan kecenderungan manusia dalam menghadapi lingkungan alam, hasrat kehidupan, keinginan keseharian, watak personal penggunanya, serta nafsu manusia dalam menggunakan segala sesuatu. Pada bangunan tinggal, rancangan arsitektur selalu menunjukkan keterlibatan manusia dan memperlihatkan pengetahuan manusianya melalui kecenderungan ; gaya, warna dan nuansa yang dipilihnya ketika kali pertama pemunculan bangunan. Dan berkat waktu, arsitektur pun menunjukkan hasrat, cita-cita, nafsu atau bahkan impulsifitas manusianya melalui kecenderungan penggunaan elemen arsitektur : coretan pada tembok, perawatan taman dan furniture, atau bahkan perubahan nuansa yang mengubah total wujud arsitektur semula. Sebuah bangunan menunjukkan kearifan, sekaligus, kebijaksanaan jiwa penghuninya. Bangunan rumah merepresentasikan sekaligus membentuk kondisi mental pemiliknya (Mangunwijaya, 1988). Bangunan menjadi sebuah hasrat, cerita yang dibisikkan oleh setiap sudut kamar di dalamnya. Sebuah bangunan menceritakan kepada manusia tentang apa-apa yang diinginkannya dahulu ; tentang apa yang mungkin terlupakan kerena dinamka kehidupan : segala kemauan yang tertanam oleh iklan-iklan teve, atau majalah, atau bahkan impulsifitas yang muncul dari obrolan sukaria dengan kawan-kawan. Bangunan menunjukkan pertemuan, dan pertumpukkan kemauan manusianya dari waktu ke waktu : dari wujud berkesadaran secara intuitif yang tradisional hingga mencapai modernisme yang bias pada penggunaan rasio dan fokus pada ilusi pertumbuhan.


HUTAN MANUSIA, SEBUAH EKOSISTEM PEMIKIRAN

Dalam banyak pembacaan, manusia selalu ditunjukkan sebagai makhluk sosial yang tidak pernah bisa berdiri secara tunggal. Ia membutuhkan jaringan untuk membentuk kesaling-hubungan aktifitas sehingga dengan begitu terlahirlah dunia manusia. Arsitektur dimunculkan untuk menampung ekosistem kegiatan kehidupan ini sebagai titik tengah antara pengetahuan, kehendak, serta lingkungan yang mengantarkan dunia manusia dalam membentuk peradaban yang lebih besar.


Pada masa awalnya, wujud arsitektur tidak diarahkan untuk mencapai kepuasan estetika melainkan keberlangsungan hidup secara kosmik. Dalam kajian kebudayaan Bali, konsep ini diwujudkan dalam penggambaran Tri Hata Karana yang memandang arsitektur sebagai sebuah perlambang manusia, alam dan Tuhan (sumber pengetahuan). Peran sumber pengetahuan dalam hal ini menjadi kata kunci, yang menunjukkan orientasi manusia dalam kehendak yang ingin dicapainya. Sumber pengetahuan menunjukkan arah gerak kehidupan manusia, dan penggambaran ‘tuhan’ yang disampaikan menunjukkan cara-cara manusia dalam memperlakukan lingkungannya : baik sosial manusia dan juga lingkungan-alam. Prijotomo (2014) menyebutkan bahwa gagasan arsitektur di bumi Timur tentu berbeda dengan gagasan arsitektur Barat yang berorientasi pada alamnya masing-masing. Dalam bumi Timur, arsitektur dimunculkan dengan menggunakan material-material ringan sehingga menjadilah sebuah tempat bernaung yang setiap aktifitas di dalamnya bersifat sementara. Setiap aktifitas manusia pada masa ini seringkali berpindah dan menyebabkan pertumbuhan arsitektur yang tidak ajeg. Layaknya hutan pada masa awal terbentuknya, setiap aktifitas terjadi untuk menyerap banyak sumberdaya air dari bawah tanah dan untuk sesegera mungkin mencapai yang Atas, sebelum lalu terbakar oleh terik matahari sehingga abunya jatuh ke tanah dan menjadilah bibit baru untuk terbentuknya hutan fase kedua yang bertugas untuk mengumpulkan sari-sari makanan pada lingkungan alam dengan mengundang banyak hewan darat dan udara untuk mulai menjalin ekosistem kecil. Hutan pada masa awal dibentuk oleh jaringan pohon-pohon yang bersifat rakus air, tumbuh secara cepat, namun memiliki batang yang kering dan mudah terbakar seperti misalnya pohon akasia dan pohon kayuputih. Pohon-pohon jenis ini berfungsi untuk merangsang aliran air bawah tanah untuk naik ke permukaan agar lebih mudah diserap oleh bibit-bibit baru serta merangsang penggemburan tanah melalui pemunculan bakteri. Namun pohon jenis ini tidak berumur lama kerena tingginya menghalangi sinar matahari bagi bibit baru itu. Akibatnya mereka harus segera terbakar, dan membuka jalan bagi sinar matahari untuk mencapai permukaan tanah dan merangsang tunas-tunas pohon dalam pembentukan hutan fase kedua. Analogi hutan fase kedua ini dapat dilihat pada pembentukan tata kelola perkampungan atau tata kelola kota skala kecil, sebuah jalinan arsitektur yang mewadahi aktifitas manusia serta kehendaknya dalam mengalami kehidupan. Pada konteks ini, arsitektur menjadi panggung drama pertumbuhan (progress) yang menyerap banyak sekali sumberdaya baik pengetahuan, dan ekonomi untuk menciptakan keseimbangan elemen-elemen yang telah dikumpulkan oleh peradaban fase pertama sebelumnya. Sebuah kampung, menurut Hariyono, Paulus (2007 : 42 – 48) berperan sebagai client yang  menyediakan tenaga-tenaga yang dibutuhkan oleh kota sehingga terjadi surplus ekonomi lebih stabil pada kota yang berperan sebagai patron yang memberi perlindungan dari kekacauan internal maupun eksternal.


Akan tetapi, proses sebelumnya tentu harus terjadi kembali. Sebuah titik-balik (Capra, F. 1997) akan terjadi, dan nampak sebagai sebuah anomali, yang mengantarkan dunia manusia memasuki babak baru pertumbuhannya. Analogi tentang hutan memasuki siklus ketiga, dimana pohon-pohon pembentuk jaringan hutan sebelumnya tidak lagi banyak terbakar matahari melainkan tumbang kerena telah lapuk dan menjadi elemen-elemen pembentuk tanah gambut pada hutan yang memberikan banyak nutrisi baru bagi bibit-bibit dan tunas baru. Pohon-pohon ini tumbang secara alami, kerena umurnya yang telah usai, dan kerena kemampuannya menghisap sumberdaya yang sekaligus menyebabkan keberlimpahan sumberdaya telah berakhir. Pohon-pohon yang tumbang ini akan semakin lapuk di tanah dan mengumpulkan bakteri-bakteri penggembur tanah lebih banyak lagi sehingga menyebabkan tanah menjadi lebih lunak dan mempermudah terbentuknya aliran sungai baru. Kemunculan sungai baru dan kegemburan tanah ini memanggil hewan-hewan sekitar untuk keluar dari persembunyian, berdatangan dan mulai menetap. Sembari menetap, hewan-hewan ini melakukan kehidupannya, memakan dan dimakan, lalu membuang kotoran di tempat sama, menjadikannya pupuk terbaik untuk pertumbuhan pohon-pohon pada hutan fase terakhir.


Kehidupan hutan pada fase kedua tidak dapat dikatakan sudah damai. Fase ini tergambar pada kehidupan masa sekarang dimana waktu mengalir begitu cepat. Dinamika kehidupan melampaui batas dinamis itu sendiri. Bangunan-bangunan arsitektur terus bermunculan menandakan manusia-manusia semakin dituntut untuk terus bereproduksi hingga kehilangan dirinya sendiri. Manusia-manusia semakin tenggelam dalam kemegahan bentuk-bentuk arsitektur namun yang menjadi tujuan hanyalah peluang untuk pulang : me-time, liburan, atau bahkan lebaran. Pulang ke tempat dimana manusia itu dapat dimengerti dan tak disalah-fahami, meskipun manusia itu lupa untuk mencoba mengerti dan tak menyalahfahami.


Dalam dinamika kehidupan serba cepat ini, manusia-manusia tergiring kesana-kemari ke arah yang tak lagi dapat dimengerti. Ambisi dan kehendak menyelimuti tiap-tiap mimpi dan menggerakkan tiap-tiap organ layaknya marionette.


Kestabilan perubahan dan dinamika kehidupan ini merangsang pertumbuhan arsitektur sebagai manifestasi dunia manusia, yang menampilkan identitas dirinya : kehendak, pengamatan lingkungan, serta keyakinan terhadap sumber pengetahuan untuk mencapai fase terakhirnya yang otentik : hutan fase ketiga, dimana aliran sungai baru telah terbentuk, kumpulan hewan-hewan telah semakin beragam saling berinteraksi memakan dan dimakan, memanggil dan dipanggil, membuang dan saling menyuburkan dan sinar matahari telah dapat mencapai setiap jengkal kehidupan di hutan. Pada fase kedua ini, ragam pemikiran manusia terlahir untuk mendekonstruksi dan menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan yang terwujudkan dalam bentuk arsitektur sebagai panggung drama kehidupan manusia. Melampaui pemikirnya, bahkan arsitektur ber-genre dekonstruksi pun lahir mencengangkan Derrida, pemikir Dekonstruksi itu sendiri, yang tak percaya bahwa metode berfikirnya dapat tampil sebagai wujud arsitektur.


Seorang filsuf termahsyur Yunani pada masa awal, Aristoteles, memberikan sumbangan penting dan selalu relevan untuk pembentukan keilmuan arsitektur pada masa-masa berikutnya. Salah satu sumbangan terpentingnya adalah pengertian tentang enteleki (entelechia) yang dijelaskan sebagai kekuatan dari dalam pada segala sesuatu yang telah utuh dan teratur, yang bagaikan benih menuju kedewasaannya dengan atau tanpa campur tangan luar, yang meraih kepada pemenuhan tujuan dirinya. Enteleki merupakan energi potensial pada setiap hal, untuk menjadi sesuatu melampaui dirinya, namun sekaligus menunjukkan keterbatasan dirinya. Ibarat sebuah pohon, bagaimanapun kemampuan dan pengetahuan manusia untuk melakukan intervensi, manusia takkan pernah mampu mengubah pohon Kelapa menjadi pohon Ketapang. Atau pohon Kaktus menjadi pohon Durian. Masing-masing pohon ini memiliki suatu energi-potensial dalam dirinya, yang menyebabkan durian tetaplah durian, atau Ketapang tetaplah Ketapang, yang melebihi sebatas citra dan guna, sebagai sebuah das ding an sich.


PERJALANAN ARSITEKTUR, PERJALANAN MANUSIA MENCAPAI KOSMIK TERTINGGINYA.

Jiwa dalam bentuk-bentuk arsitektur tidak hanya memperlihatkan kejiwaan manusianya melainkan juga menampilkan kejiwaan lingkungan alamnya ; kelembaban, terik matahari, curah hujan, dan banyak lainnya. Seberapapun manusia mencoba berfikir terpisah dengan lingkungan alam, namun gejala-gejala alam tetap akan turut mempengaruhi wujud arsitektur melalui proses waktu.


Perkembangan arsitektur di masa kuno sendiri telah mencapai puncaknya ; fase hutan ketiga, terlihat pada gaya dan penerapan bangunan arsitektur tradisional-kuno yang telah menjadi lebih dari sebatas tempat bernaung : bangunan arsitektur digunakan sebagai ruang penghayatan spiritual. Penggunaan arsitektur Jawa misalnya, yang didedikasikan untuk pemujaan Dewi-Sri dengan konsepsi Sang-Tani dan petani (‘p’ kecil). Atau pemikiran-pemikiran arsitektur India yang menerapkan pemikiran Vasthu Purusha Mandala, sebagai energi kosmik rendah dari bawah bumi yang menarik manusia agar tetap berpijak di tanah. Pada arsitektur Yunani kuno, pemikiran ini diejawantahkan melalui kemunculan bentuk-bentuk geometrik dari getaran suara, serta perhitungan yang sangat matematis (Melchizedek, Drunvalo. 1990) dan menampilkan citra dewa-dewi Olympus pada ornamen-ornamennya sebagai wujud kompleksitas penghayatan terhadap Semesta dan Khayangan Raya.


Pada fase ini, arsitektur tidak lagi digunakan untuk sekedar bernaung, atau sekedar tempat tinggal untuk menaruh barang dan menyembunyikan identitas diri yang diyakini adalah sebenarnya seperti pada fase kedua. Pada fase ini arsitektur digunakan untuk menyimpan sekaligus untuk memberikan pengetahuan kepada manusia. Sebut saja rumah Lamin bangsa kebudayaan Dayak yang menyimpan setiap informasi kebudayaannya pada ornamen-ornamen rumahnya – butuh lebih dari sekedar arkeolog handal untuk memahami apa yang mereka tulis pada ornamen rumahnya : memahaminya butuh untuk ‘mendengarkan’ ritme dan detak jantung hutan dimana rumah itu berada dan berlokasi pindah.


Akan tetapi sejak masa globalisasi modern, perkembangan arsitektur rumah kembali memasuki fase awal dalam analogi pertumbuhan hutan. Di Indonesia sendiri ditunjukkan pada kemunculan gedung-gedung intramurros, gedung bangunan yang menggabungkan pemikiran rasional Eropa dengan intuisi ekologi kelompok tradisional. Namun sejak masa pasca-kemerdekaan, pertumbuhan arsitektur menunjukkan anomali yang memperlihatkan keterpisahan pemikiran manusia dengan konteks lingkungan alam. Hal ini menyebabkan arsitektur kembali dipandang sebagai sebatas tempat berlindung (pemikiran Eropa yang muncul dari respon manusia Eropa terhadap lingkungan alamnya), dan bahkan bukan lagi sekedar tempat bernaung (pemikiran Timur yang muncul dari respon manusia Timur terhadap lingkungan alamnya). Sesuatu telah tumbuh dalam sebuah batang pohon Jati, yang beraktifitas dengan membayangkan dirinya berada dalam sebuah pohon Oak. Akibatnya, cita-cita pohon Oak-lah yang dipraktikkan pada tiap-tiap serat pada pohon Jati.


Meskipun arsitektur merupakan sebuah teknologi yang membantu manusia dalam mencapai cita-citanya, namun keterpisahan manusia dalam memahami alamnya ini menyebabkan munculnya pandangan tentang kebencanaan : yang pada dasarnya hanyalah aktifitas alami oleh bumi dimana ia berada. Peribahasa dimana Bumi dipijak, disitu Langit dijunjung menjadi kata kunci penting, sebab Langit merupakan analogi dari ‘sumber-pengetahuan’. Objek-objek Langit pada setiap kebudayaan selalu dipandang sebagai objek yang memberi, yang aktif, sehingga seringkali objek-objeknya menjadi sesembahan : matahari, langit, bintang, atau bahkan penggambaran antropomorfisme tentang dewa-dewi, atau bahkan tuhan, yang duduk bersemayam di Langit, yang memberi rahmat dan cinta kasih dibalik kelamnya malam. Namun, dekonstruksi tentang wacana ‘Langit’ perlu kembali diselami, untuk memahami matahari macam apa yang menyinari hutan manusia ini, yang menjadi sumber dan menjadi kiblat bagi pertumbuhan peradaban dunia manusia. Langit jenis apa yang menyebabkan manusia Kalimantan, yang hidup di bumi Kalimantan yang berawa, berfikir bahwa banjir adalah sebuah bencana yang harus dikendalikan? Atau Langit macam apa yang menyebabkan manusia-manusia Jawa memandang aktifitas erupsi gunung berapi dan gempa bumi, tidak lagi sebagai sebuah scretching alam sehingga menghambat pertumbuhan perekonomian dan merusak tanaman-tanaman di pekarangan?


Ada banjir di lautan
Ada wabah kekeringan di padang sahara.

Terdapat dua terminologi penting untuk memahami skema pembentukan hutan : perbedaan diksi antara tanaman dan tumbuhan. Meskipun keduanya sama-sama memiliki fungsi ekosistem, namun keduanya dibedakan oleh intervensi manusia yang dipengaruhi oleh kehendak. Kehendak manusia ini menyebabkan perbedaan fungsi ekosistem antara keduanya, serta mempengaruhi pembentukkan wajah peradaban manusia. Tanaman yang terbaik adalah tanaman yang paling mendekati konsep tumbuhan, yang ‘tumbuh’ secara alami, dan yang ‘jumbuh’ yang mengantarkan hingga ke pertibaan (titik akhir tujuan). Maka mengacu pada konteks ini, arsitektur yang baik adalah yang membawa manusia kepada titik akhir tujuan hidupnya, bukan sebatas titik-titik persimpangan dalam kehidupan : mencapai sebuah pulang (home), ke tempat dimana manusia mencapai kesaling-hubungannya sebagai makhluk eksistensial. Sebagai yang memahami dan difahami, sebagai yang mengerti dan dimengerti. Yang tidak menyalah-fahami dan tidak disalah-fahami. Sebagai yang berbicara dan dibicarakan. Sebagai yang melukiskan dan dilukiskan. Sebagai yang memakan dan dimakan. Yang mendorong dan didorong. Menyuburkan dan disuburkan.


Gagasan tentang pulang merupakan gagasan akhir kedirian manusia dalam keterlibatannya pada arsitektur. Bangunan-bangunan arsitektur menjembatani manusia antara yang dalam dengan yang luar, antara bawah dan atas, antara dirinya dengan yang liyan. Namun perdebatan tentang ‘pulang kemana?’ hingga hari ini masih menjadi perdebatan panjang antara kelompok pemikir dengan kelompok fuqaha yang menyederhanakan kepulangan hanya kepada Tuhan semesta Alam tanpa menjelaskan proses dan konsekuensi perbuatannya secara nyata. Akibatnya, gagasan tentang pulang menjadi sebatas ilusi yang tak pernah terjangkaunya melalui media arsitektur. Layaknya sebuah peribahasa, semut diujung pulau nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Dalam konteks arsitektur yang lebih sempit, dunia manusia melalui arsitektur ingin difahami oleh lingkungan alam namun tidak mencoba memahami lingkungannya : tinggi rumah berlomba dengan tinggi jalanan untuk menghindari banjir, Gedung bertingkat mencoba menjangkau langit biru di tanah bergempa, bangunan-bangunan kaca menyembunyikan pendingin ruangan di lingkungan dengan terik matahari yang tinggi, dan bangunan masjid berdiri diatas badan sungai dimana sang marbot melempar sampah bungkus rokoknya kesana.


Dalam membayangkan arsitektur sebagai sebuah pohon tanaman, alangkah lebih baik jika melihat keberadaannya dalam kesaling-hubungan terhadap konteks dan konsekuensi dari kehadirannya : peradaban dan dunia manusia. Dalam hal ini, analogi tentang hutan merupakan konteks penting untuk memahami arsitektur yang menampilkan gejala-gejala pertumbuhan dunia manusia.


Pembentukan hutan terjadi dari 3 fase dasar, yakni fase tumbuh untuk menarik setiap potensi dirinya sebelum kemudian terbakar matahari dan membuka jalan sinar matahari bagi terbentuknya hutan fase kedua, yang berperan untuk menciptakan dan mengumpulkan keseimbangan ekosistem, sebelum kemudian menjadi lapuk lalu menjadi makanan bagi pertumbuhan hutan fase ketiga, sebuah wilayah dengan kolektifitas ekosistem yang telah matang. Dalam hal ini, kesesuaian lingkungan (ground) dan pemahaman terhadap iklim dari langit (sky) menjadi sumbu penting terhadap pengetahuan yang berdampak pada gejala-gejala pertumbuhan arsitektur. Konteks ‘langit’ menjadi kata kunci penting untuk memahami gagasan ‘sumber-pengetahuan’ yang menjadi kiblat pertumbuhan.


Pencapaian akhir dari pembangunan arsitektur adalah bukan lagi berorientasi pada perkembangan (progress) dunia manusia, melainkan hadir untuk pemenuhan eksistensi diri manusianya : mencapai sebuah pulang-dunia yang merepresentasikan kepulangan kosmiknya, yang dengannya dapat menggambarkan ‘ketenangan’ jiwanya setelah kematian, untuk dirinya bersedia mewariskan segala pencapaian dunianya kepada setiap penerusnya dan melepaskan nafas terakhir hidupnya dengan mengatakan ‘aku pulang’…

5 views0 comments

Recent Posts

See All

VASTHU / / E(S)TETIKA

Elemen paling penting dalam estetika adalah cahaya, katanya. Tapi kegelapan juga penting dalam elemen estetika kerena kegelapan...

Comments


bottom of page