top of page
Search
  • Writer's picturePrau

TRADISI BERPIKIR CENDEKIAWAN INDONESIA

Sejak berakhirnya masa kolonialisme Belanda, wilayah kepulauan Nusantara bersatu dan berdiri sebuah negara Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dengan membawa prinsip-prinsip modern dalam praktik pembangunan. Namun, seiring perkembangan pembangunan di Indonesia dari waktu ke waktu tak terlepas dari pengaruh prinsip berpikir yang telah terbentuk sebelumnya. Cara berpikir tersebut bersifat kolektif sebagai produk kebudayaan yang telah terbentuk melalui proses waktu, dan meresap dalam urat nadi masyarakat kebudayaan. Hal ini berdampak pada terbentuknya trikotomi ontologi pada kelompok cendekiawan : kelompok Tradisional, kelompok Islam, dan kelompok Barat Modern. Ketiga dasar ini menjadi dasar-dasar pengetahuan yang diwariskan melalui arena-arena cendekia baik formal seperti wilayah akademik dan pengajian, atau pada konteks non-formal seperti kedai kopi. Ketiganya menularkan, yang menyebabkan terjadinya blended pengetahuan pada individu yang menerima informasi tersebut sebelum kemudian berpartisipasi dalam praktik pembangunan.



Tradisi ini juga mempengaruhi arena pengetahuan formal melalui kepenguasaan paradigma budaya dalam konteks sejarah dan menimbulkan gejala hegemoni terhadap narasi sejarah tertentu yang berdampak pada orientasi masyarakat dalam melihat pembangunan : kemana arah kemajuan pembangunan Indonesia. Trikotomi ini saling padu, yang membentuk kognisi masyarakat dan juga cendekiawan masa berikutnya. Namun secara dilematik, hal ini berdampak pada penyebar-luasan falsafah suatu etnis kebudayaan yang mempengaruhi praktik etika pada lingkungan, ide kemajuan suatu masyarakat, dan juga imajinasi kenegaraan.


Konteks cendekiawan dalam tulisan tidak hanya membahas sebatas kelompok akademisi, melainkan rangkaian aktor-aktor yang berpikir yang menularkan gagasannya, baik melalui lintasan akademik maupun mandiri dan memiliki pengaruh kepada masyarakat secara luas baik secara lisan ataupun tulisan. Tulisan ini akan membahas berpikir dan pengetahuan sebagai sesuatu yang diwariskan, yang belum ajeg, final dan terus berkembang, untuk memahami tradisi berfikir yang ditelurkan para cendekiawan di Indonesia : apa yang dimaksud dengan pengetahuan, bagaimana para cendekiawan membentuk pandangan tentang pengetahuan yang membentuk persepsi masyarakat, serta bagaimana pengetahuan ditularkan kepada masyarakat dan diterapkan dalam praktik pembangunan hingga berdampak pada alam (nature), ide tentang ke-diri-an, struktur kebudayaan serta spiritualitas individu dalam masyarakat tersebut.


BERPIKIR SEBAGAI SEBUAH WARISAN

Dalam hubungan interaksi terhadap sesama, setiap manusia mengalami proses mental dalam menangkap dan menerjemahkan idea yang disebut sebagai aktifitas berpikir. Dengan berpikir memungkinkan seseorang untuk merepresentasikan realitas dunia dalam membentuk gagasan dan perilaku untuk mencapai tujuan, rencana, atau sekedar keinginan. Berpikir melibatkan manipulasi otak terhadap informasi, dengan membayangkan diri di dalam realitas imajiner untuk menghadapi suatu idea tentang dunia. Berpikir membutuhkan banyak sekali idea yang menyusun realitas pikiran sebelum kemudian menjadi wacana, atau menyetujui sebuah gagasan yang ditularkan melalui komunikasi oleh sesama makhluk pengguna pikiran. Dengan berpikir, individu dapat menjadi ‘serangkaian-individu’ yang melakukan gerak bersama untuk mencapai sebuah tujuan tunggal dalam eksistensi kehidupannya.


Diskursus tentang berpikir telah lama menjadi perbincangan manusia dan berkembang sepanjang sejarah itu sendiri. Filsuf masa awal, Socrates, menggambarkan aktifitas berpikir dalam credo nya yang terkenal ‘Gnothi Seauton’ (Know Thyself) dan mengasosiasikan berpikir sebagai kegiatan perenungan. Pada masa modern, wacana ini terkembang dalam dekrit terkenal Cogito Ergosum (I think, therefore I am) oleh Descartes (1633) yang melihat bahwa kegiatan berpikir adalah kegiatan eksistensial dengan meragukan segala hal : untuk membersihkan anggapan terhadap fenomena dari segala prasangka, dengan begitu perilaku berpikir menjadi lebih jernih. Dekrit ini pada masa berikutnya menjadi sangat terkenal dan menjadi dasar bagi munculnya ragam teori tentang berpikir.


Konsepsi Heidegger tentang berpikir sebagai sebuah memahami yang diwariskan adalah dengan melakukan inteprestasi terhadap fenomena yang dijumpai sendiri dalam sebuah kenyataan. Dalam menjelaskan hal ini, Heidegger (Jerman) menggunakan kata-kata yang tidak lazim bahkan dalam bahasa Jerman sendiri seperti Dasein (ada-di-sana), es weltet (mendunia), in-der-Welt-sein (berada di dalam dunia), dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan penggambaran Heidegger terhadap aktifitas berpikir sebagai sebuah pengalaman berada di tempat dimana subjek berpikir tersebut terpental berada di dalamnya. Akibatnya, berpikir merupakan kegiatan merenung dan ‘menyetujui’ – menganggap ada terhadap – kenyataan eksistensial yang dapat diintepretasi, sebagai cara pelakunya bereksistensi. Keterpentalan ini (dalam ungkapan Heidegger – gowerfenheit) telah ada sebelum perbedaan antara subyek dan obyek pengetahuan, sehingga berpikir sebagai sebuah memahami yang diwariskan berbeda dengan kesadaran cogito dalam Cartesian yang berdasar pada subyek, melainkan sebuah tindakan primordial pra-reflektif (Grondin, 2000 : 118). Dengan begitu, ontologisme berpikir dasein Heidegger menggambarkan berpikir sebagai tindakan mengakses obyek-obyek pemahaman yang menunjukkan usahanya meng-ada di dunia, dan bukan sebatas tindakan kognitif yang bersifat individual. Keterlibatan individu secara total dalam praktik-praktik kehidupan menimbulkan pemahaman eksistensial individu (Heidegger, 1927 : 121,150) dan menimbulkan sikap-sikap yang membentuk kenyataan secara kolektif.


Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh muridnya, Gadamer (1900-2002), yang menghubungkan dimensi eksistensial berpikir dalam dimensi sosial, sehingga berpikir berarti juga sichverstehen (saling-memahami) dan einverständnis (kesepahaman). Aktifitas kesaling-hubungan berpikir ini membentuk horizon (Grondin, 2000 : 116) yang menampilkan wujud realitas sosial. Namun seperti gurunya, Gadamer melihat bahwa bepikir tidak berada di luar sejarah (ruang dan waktu) sehingga keduanya melihat proses berpikir sebagai Zeitlichkeit des Verstehens (ke-me-waktu-an memahami – berpikir) yang selalu mengarah kepada masa depan dalam perjumpaannya dengan tradisi (hermeneustiche Erfahrung). Diskursus Gadamer tentang tradisi dianalogikannya sebagai suatu Engkau (I – Thou), yang tidak dapat disamakan dengan obyek-obyek, tradisi bukanlah sebuah obyek ; ia menghubungkan dirinya dengan kita (manusia) (Gadamer, 2006 : 352) . Dalam hubungan kita dengan tradisi, Gadamer (2006 : 354) menjabarkan keterpentalan kita dalam dunia yang memaksa, yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan manusia. Masa silam hadir sebagai yang lain dalam keberlainannya, dan manusia berpikir sebagai penafsir membiarkannya berbicara sebagai suatu Engkau (Thou) yang berhubungan dengan manusia (The I). Tradisi diperlakukan sebagai identitas tertentu yang menyebabkan keterkungkungan subyek manusia di dalamnya, dalam ke-Aku-an suatu Engkau sehingga menyebabkan dipersonalisasi ke-Aku-an dari aku subyek.

“Tradisi berpikir adalah Horizon Sosial, sebuah pertumpukan wacana penafsiran yang manghubungkan manusia (The I) untuk bergabung dalam suatu Engkau (Thou)”

WACANA BERPIKIR DI INDONESIA

Tradisi berpikir di Indonesia sendiri berangkat dari ke-bhinneka-an dan pluralitas etnik yang pada masa berikutnya membentuk kesepakatan identitas yang disebut : Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini muncul dari ragam kebudayaan dan kesukuan yang ada di Indonesia, terbentang dari Sabang hingga Merauke.


Ragam kebudayaan ini berkumpul dalam sebuah aktifitas pasar : arena perdagangan sejak abad-abad pertengahan yang didorong oleh iklim maritim. Aktifitas perdagangan ini juga mendorong terjadinya lalu-lintas gagasan dan pemikiran, selain daripada komoditas. Hal ini memunculkan kebutuhan komunikasi, sehingga bahasa yang membawa spirit lingua franca mulai tercipta : bahasa Melayu. Bahasa ini memiliki dua konteks besar ; rendah dan tinggi. Bahasa Melayu rendah menyebar melalui kontak antar-etnik dan perdagangan di seluruh kepulauan Melayu (Nusantara) yang memiliki prinsip upaya : saling-mengerti untuk menyepakati (harga dalam pasar), sederhana dalam cara dan kosakatanya mudah bercampur dengan bahasa-bahasa lain. Sedangkan bahasa Melayu tinggi digunakan sebagai bahasa resmi di Istana-istana kerajaan di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Maluku yang menyebabkannya memiliki tata bahasa yang lebih khas dan lebih baku.


Pada tahun 1336, Maha Patih Gadjah Mada menyatakan Sumpah Palapa, demi menjaga keseimbangan pasar. Sebuah sumpah pemersatuan  kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara, sumpah sejenis  yang tidak pernah terdengar dari wilayah kerajaan Melayu manapun pada masa yang sama.


Di wilayah Sumatera, agama Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang Timur-Tengah masuk melalui Kerajaan Aceh pada abad ke-14 dan menyebabkan dominasi peradaban Islam terhadap Melayu Klasik, hingga sampai pada persepsi ‘Masuk Melayu’ diasosiasikan sebagai ‘Masuk (agama) Islam’. Tak berhenti di Melayu, peradaban Islam pun menyebar ke Jawa dan bahkan turut mendirikan kerajaan-kerajaannya sendiri. Meski awalnya wilayah Jawa didominasi oleh pemeluk agama Hindu, namun secara perlahan muncul generasi awal pribumi pemeluk agama Islam. Para generasi awal ini kelak mendirikan pusat-pusat pembelajaran Al-Quran di berbagai daerah dan akhirnya melahirkan cikal bakal pesantrian sebagai artifak pikirannya. Lima Pesantrian yang tercatat sebagai pesantrian tertua di wilayah Nusantara kuno yakni : Pesantrian Sidogiri (1745), Jamsaren (1750), Buntet (1950), Miftahul Huda (1785), dan Darul Ulum Banyuanyar (1987).


Namun dalam penyebarannya, peradaban Islam tak pelak juga menimbulkan konflik agama dan konflik tradisi, dimana peradaban Islam menentang praktik-praktik tradisional dan dengan menawarkan wacana keagamaannya. Pertentangan ini berlangsung cukup lama dalam sejarah Nusantara, hingga memasuki masa kolonialisme yang dimulai sejak kedatangan pelaut Portugis di Malaka hingga menyebar ke wilayah-wilayah lain di perairan Nusantara. Semangat kolonialisme masyarakat Eropa yang bermula sejak abad ke-16 menyebabkan ekspansi masyarakat Eropa ke seluruh dunia termasuk ke wilayah Indonesia kuno. Dalam fokus ini, negara-negara Eropa memandang dirinya sebagai bangsa yang adiluhur sehingga dengannya bangsa Eropa berpikir harus menyebarkan gagasan tentang Ilmu Pengetahuan kepada seluruh dunia dan mencerahkan dunia melalui semangat Aufklärung yang ditularkan melalui 3G (Gold, Glory, Gospel).


Langgam perdagangan yang sebelumnya pernah berdengung dan memukau masyarakat lokal, justru berbalik menjadi kependudukan bangsa Eropa dengan mendirikan wilayah-wilayah kolonial serta mengeksploitasi wilayah-wilayah yang memiliki nilai kebudayaan dan tradisi radikal ke dalam sistem Pemerintahan Eropa. Hollandsch-Inlandsche School (HIS) adalah sekolah pendidikan dasar (Lager Onderwijs) untuk bumiputera pertama yang didirkan pada tahun 1914, seiring dengan diberlakukannya Politik Etis. Sekolah ini disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.  HIS termasuk Sekolah Rendah (SR – kelak menjad SD) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs), berbeda dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah dan diperuntukan kepada golongan masyarakat keturunan pribumi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa menjadi sangat penting untuk membagi tingkat-tingkat golongan masyarakat tertentu.


Peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali dikeluarkan pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 dimana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang memiliki 3 unsur penting : imigrasi, transmigrasi dan pendidikan.


Dalam menghadapi kependudukan Belanda, perseteruan yang terjadi antara kelompok Islam dan kelompok tradisional mereda dan kemudian bersatu untuk menghimpun kekuatan bersama dalam tekad mengusir penjajah. PerangPadri adalah salah satu contoh peperangan yang berawal dari pertentangan kelompok Islam Minangkabau dan kelompok tradisional Mandailing yang terjadi pada tahun 1803 hingga 1838. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat tradisional (Adat) di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan oleh pihak Belanda. Setelah peristiwa tersebut, terjadi banyak penggabungan kekuatan antara kelompok-kelompok Islam dan tradisional dalam mengusir Belanda di wilayah-wilayah lainnya. Penggabungan kekuatan ini juga menyebabkan terjadinya pertukaran dan penggabungan dua cara berpikir dari kedua kelompok : Islam dan Tradisional, dengan semangatnya untuk melakukan perlawanan.


Namun pun demikian, penyebaran pengetahuan dan penelitian masyarakat Eropa di wilayah Indonesia kuno dalam kependudukannya bersifat eksklusif dan berpusat pada dirinya sendiri sehingga menyebabkan kekuatan kolonialisme Belanda melemah seiring waktu. Pameran Batavia pada tahun 1853 adalah contoh tegas yang menggambarkan self-sentricism masyarakat Eropa dalam menggali dan menyebarkan pengetahuan di Indonesia, dimana dalam pameran itu mempertunjukkan ragam komoditi dan produk kebudayaan dengan hanya menyebut nama dan asalnya ; tanpa menjelaskan sejarah, semangat dan kegunaan dari benda tersebut. Baru pada masa Perang Dunia I ketika Revolusi Industri semakin menyebar, kebutuhan akan tenaga teknik meningkat pesat dan mendorong Pemerintah Eropa untuk mencari tenaga tambahan dari negara-negara kolonial. Desakan ini berdampak pada berdirinya Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS – 1920) di wilayah Indonesia kuno yang merupakan salah satu sekolah teknik pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial. Sayangnya, kekalahan Belanda pada Perang Dunia II oleh Jepang menyebabkan bergesernya sistem pemerintahan koloni di wilayah Hindia Belanda. ITSR (perubahan dari THS) pun diganti nama menjadi Bandoeng Koogyo Daigaku (BKD) untuk lebih menyesuaikan diri dengan sistem kekuasaan Jepang. Pada pergantian nama ini, kali pertama munculnya guru besar dari bangsa Indonesia, Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo dan kali pertama pula penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di semua sekolah. Hal ini mendorong kepercayaan diri kelompok intelektual lokal di masa tersebut.


Awal kesepakatan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional bermula dari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia disepakati oleh tokoh-tokoh bangsa. Ir. Soekarno yang menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, yang tidak memilih bahasa Jawa sebagai bahasa Nasional namun lebih memilih Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu Riau. Mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan aksara Latin-Romawi dengan mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Dengan penggunaan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia semakin dibakukan. Bahasa Indonesia menjadi artifak dari tiga aliran pemikiran : semangat persatuan Minang dan Mandailing demi melawan kepenjajahan kolonialisme Belanda (Melayu Riau), yang direkam dan ditulis dalam aksara Latin-Romawi.


Ragam peristiwa dunia yang terjadi sejak akhir abad ke-19 membawa pengaruh pula terhadap pembentukan Negara Indonesia. Sejak awal tahun 1908, tumbuh banyak gerakan-gerakan perlawanan terhadap sistem kolonial. Terlebih sejak tahun 1924 ketika Partondo dan seorang bernama pena A. Zain menerjemahkan ‘Manifesto Komunis’ ke dalam bahasa Melayu, menyebabkan trend berpikir kiri (komunis dan sosialis) yang memandang kolonialisme sebagai produk dari kapitalisme yang mengeksploitasi dunia ketiga. Istilah ‘dunia ketiga’ pada awalnya digunakan untuk menyebut negara-negara yang tidak bersekutu pada masa Perang Dunia II, yang pada umumnya saat itu merupakan wilayah-wilayah negara kolonialisme Eropa. Kolonialisme masyarakat Eropa pada masa tersebut menyebabkan negara-negara tersebut mengalami keterbelakangan. Baru setelah berakhirnya Perang Dunia II, gagasan Sosialisme menjadi digemari oleh negara-negara bekas jajahan untuk mendorong munculnya kemerdekaan.


DENGUNG PEMBANGUNAN DAN ARENA TRADISI BERPIKIR

Ketiga dasar pemikiran ini pada masa awalnya menjadi titik pijakan bagi masyarakat yang diwujudkan dalam penggunaan bahasa. Dalam perkembangannya, masing-masing original position pemikiran ini pun pada kemudian terbagi dalam dua aliran besar yang menjadi warna dan nuansa pembangunan dalam menciptakan gerak tunggal sosial terhadap pembentukan Peradaban yang memiliki keadilan sosial dalam pembangunannya.


Ketiga aliran tersebut juga mewariskan artifak berwujud Gedung pengetahuan : Pesantrian, Akademis, dan khusus pada kelompok Tradisional, pengetahuan diwariskan melalui pitutur antar generasi dan pada masa berikutnya mendorong munculnya rumah-rumah budaya sebagai Menara pengetahuannya.


Conceptual-constant dari tiga aliran besar pemikiran ini, pada masa awal diperlihatkan oleh sosok besar Ir. Soekarno yang menjadi presiden pertama RI. Berangkat dari 3 original-position yakni Tradisional Idealis, Sosialis-komunis, dan Abangan (Moderat+Jenaran), Ir. Soekarno menampilkan wujud conceptual-constant tersebut dalam bentuk-bentuk arsitektur yang dilakukan secara kerja sosial. Melalui karya arsitektur, Ir. Soekarno yang seorang Jawa asli tetap tak bisa lepas dari pandangan triwikrama sehingga ia pun tak melepaskan pandangan masa lalu bangsa yang menggunakan bangunan monumental keagamaan sebagai lambang kejayaan negara. Hal ini ditunjukkan pada peristiwa sayembara desain Mesjid Istiqlal yang  dimenangkan oleh seorang Nasrani, Fredrich Silalaban kerena menggunakan falsafah ‘Ketuhanan’ dalam rancang desainnya. Falsafah ini begitu disukai oleh Ir. Soekarno yang memandang bahwa kehadiran Masjid Istiqlal, diharapkan sebagai lambang kejayaan dan pemersatu bangsanya. Ir. Soekarno menetapkan lokasi masjid ini di Taman Wilhelmina agar berdekatan dengan Lapangan Merdeka dan Taman Medan (alun-alun), bangunan-bangunan Pemerintahan (kraton), dan Gereja Katedral Jakarta. Penetapan lokasi masjid ini menunjukkan keterikatan original position Ir. Soekarno dengan pandangan kebudayaannya, dan dasar konsep ‘Ketuhanan’ yang ditawarkan oleh SIlalaban ini jelas menunjukkan original position Ir. Soekarno sebagai Abangan yang menunjukkan pemikiran Jenaran. Posisi pemikiran Barat (modern) sosialis-komunis Ir. Soekarno ditampilkan dalam cara kerja bangunan masjid ini yang menggunakan modal sosial, diiringi gaya Artdeco yang juga berpengaruh terhadap beberapa bangunan lain yang dibangun pasca-kemerdekaan Indonesia antara lain ; monas sebagai simbol memori-kolektif negara Indonesia, Gedung Conefo, Gedung Sarinah, Wisma Nusantara dan rencana Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957.


Dalam rencana Tata Ruang Kota Palangkaraya, Ir. Soekarno banyak menetapkan gaya-gaya Artdeco pada desain bangunan dan falsafah kebudayaan Keraton Yogyakarta dalam tata letaknya. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya sumbu imajiner antara sungai Kahayan, tugu Soekarno, Gedung Pemerintahan (sekarang kantor Walikota), Bundaran Besar, dan Jalan Komodor Yos Sudarso yang membentang lurus searah dengan koordinat Monas di Jakarta.

Hal ini menunjukkan conseptual-constant, sebagai sebuah identitas baru dari ketiga warisan pemikiran di Indonesia. Dari situ, masing-masing original position ini juga banyak mewariskan artifak pengetahuannya dalam wujud gedung pengetahuan : Pesantrian untuk pemikiran Islam, Lembaga sekolah akademis untuk pemikiran Barat(Modern), dan rumah-rumah budaya untuk kelompok Tradisional.


Namun perkembangan politik di Indonesia menggeser posisi Ir. Soekarno yang berdampak pula pada perkembangan penyatuan original-position pemikiran ini. Hegemoni terhadap pemikiran kembali diperjuangkan setelah Indonesia mencapai masa kemerdekaannya. Pasalnya, teori modern yang ditujukan dalam epos pembangunan memiliki lebih dari sekedar elemen ekonomi, namun menggunakannya sebagai nilai output yang menyatakan pertumbuhan suatu pembangunan. Hal ini menyebabkan munculnya paradigma dalam membangun suatu peradaban yang memunculkan transisi masyarakat tradisional (pra-modern) ke masyarakat yang modern. Namun proses transisi ini juga serta merta membawa pergeseran pemikiran dimana masyarakat tradisional yang melihat solidartias dan mekanistik (hidup dalam kelompok yang terikat norma kebudayaan dan bersaling-bergantung pada alam – nature) menjadi bias kepada peningkatan individualisme diri kerena tingkat komplekstias masyarakat yang semakin tinggi. Pandangan ini disebabkan oleh motif ekonomi yang melihat bahwa suatu individu tidak mungkin mengerjakan semua hal sendiri, sehingga dibutuhkan pembagian kerja dan spesialisasi masing-masing profesi tersebut. Emile Durkheim berpendapat bahwa dalam penyebaran gagasan modernisasi, kebudayaan adalah salah satu penghambat utama. Budaya dalam pandangan tradisionalis adalah pendorong yang kuat untuk pembangunan, dengan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan di seluruh masyarakat. Gaya hidup masyarakat, perilaku individu, pola konsumsi, nilai-nilai yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan interaksi manusia dengan lingkungan alam sebagian besar dipengaruhi oleh budaya. Dalam hal ini, Durkheim berpendapat bahwa kebudayaan adalah irasional yang merupakan salah satu penghambat utama kepada individu (masyarakat) dalam menyerap dan menguasai kemajuan teknologi, serta nilai-nilai kebudayaan tersebutlah yang menghambat masyarakat untuk menciptakan teknologi mereka sendiri. Hal ini terjadi kerena terdapat perbedaan pandangan tentang ‘teknologi’ antara modernis dan tradisionalis. Hal ini mempengaruhi struktur lembaga pendidikan, dimana pengalienasian penggunaan bahasa lokal menyebabkan pandangan etnik (tradisional) semakin terpinggirkan. Sekolah-sekolah mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sehingga membuat penguasaan terhadap bahasa lokal oleh generasi penerus semakin ditinggalkan.


Praktik hegemoni pemikiran juga terjadi oleh kelompok Islam, khususnya kelompok Putihan (fuqaha) melalui praktik politik pemerintahan. Bagi para pemimpin Orde Baru, Islamisasi masyarakat tradisional memiliki dua manfaat, yakni sebagai cara untuk menyapu bersih semua bekas-bekas pengaruh Komunisme sampai ke akar rumput masyarakat dan sebagai alat untuk kontrol sosial pada umumnya. Hal ini menyebabkan proses tersebut sejauh mungkin diarahkan dan dikontrol oleh pemerintah Orba sendiri, sehingga walaupun organisasi-organisasi Islam sering mempunyai aspirasi sosial-agama yang sejalan dengan rezim, dari waktu ke waktu ketegangan dan konflik antara organisasi-organisasi itu dengan pihak pemerintah mulai bermunculan.


Pemerintah Orde Baru mensponsori cukup banyak kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan pengaruh Islam di kalangan masyarakat Tradisional di seluruh Indonesia, antara lain dengan mendirikan masjid dan langgar. Alokasi dana pendirian masjid terdapat dalam semua rencana pembangunan, misalnya jumlah masjid di Jawa Tengah bertambah dari 15.685 bh pada 1980 menjadi 28.748 bh pada 1992; di Jawa Timur terdapat 15.574 bh masjid pada 1973 dan menjadi 25.655 bh pada 1990.


Pada tahun 1982, Soeharto mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang menghimpun dana dari para pegawai negeri untuk dialokasikan sebagai dana pembangunan ratusan masjid dan mengirim ribuan guru agama Islam ke daerah-daerah transmigrasi di luar Jawa (di mana mayoritas penduduknya berasal dari pulau Jawa). Pemerintah juga menyebarluaskan sistem STAIN/IAIN sehingga pada akhir Orde Baru, 18% dari seluruh pemuda Indonesia yang belajar di tingkat perguruan tinggi merupakan murid-murid di IAIN. Sementara itu pelajaran agama Islam menjadi mata pelajaran wajib sekolah-sekolah negeri. Bersamaan, Pendidikan Tinggi Da’wah Islam (PTDI) yang didirikan di Solo pada era Demokrasi Terpimpin dipindahkan ke Jakarta pada 1965 atas dukungan pemerintah Orde Baru. Tujuannya untuk mendirikan cabang-cabang sampai ke tingkat desa.


Pada 1971, pemerintah Orba mendirikan Proyek Pembinaan Mental Agama (P2A) yang bertujuan untuk mencapai masyarakat hingga tingkat desa. Tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) diundang untuk ikut serta dalam kegiatan P2A. Sejak era 1970-an akhir, rezim menyebarluaskan program pada semua tingkat masyarakat yang dinamakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk masyarakat muslim, ajarannya menggarisbawahi bahwa “Islam mengajarkan untuk patuh kepada Allah, Rasulnya dan Ulil-amri. Ulil-amri berarti Pemerintah yang sah. … Karena itulah kepatuhan umat Islam di Indonesia terhadap Pemerintah Indonesia … dirasakan sebagai kewajiban agama.” Pemerintah Orba juga mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) sebagai organisasi pemuda, yang direncanakan untuk mempromosikan doktrin Islam hingga pada tingkat grassroots. Dalam praktiknya, Golkar memegang kunci penting dalam mendorong kegiatan-kegiatan lembaga tersebut.


Pemerintah juga mendukung pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990 dan menjadi penghubung pokok antara rezim Orba dengan masyarakat kelas menengah baru Indonesia : terutama teknokrat, intelektual dan siapapun yang terlibat dalam birokrasi. Bersamaan, pemerintah mengizinkan pendirian LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan bahasa Arab) di Jakarta pada 1980, yang disponsori oleh pemerintah Arab Saudi. Akibatnya, hegemoni pemikiran Wahabi semakin berkembang dan penyebar luasan gagasan-gagasan tokoh Pakistan, Mawdudi dan ide-ide tokoh-tokoh al-Ikhwan al-Muslimin seperti Hassan al-Bana dan Sayyid Qutb. Mahasiswa-mahasiswa berprestasi di LIPIA kemudian didorong dengan beasiswa untuk melanjutkan studinya di universitas-universitas yang direkomendasikan, di Arab Saudi sendiri.


Dampak dari praktik politik ini muncul pada pertumbuhan persentase masyarakat yang memeluk agama Islam dengan komitmen veil of ignorance, dicerminkan dalam angka-angka mereka yang naik haji meskipun harus menabung dan tahan melihat tetangga kelaparan, malah dalam waktu beberapa tahun saja. Misalnya, pemberangkatan ke Makkah dari Jawa Tengah pada 1969-1970 ada 805 orang, dan meningkat pada 1972 menjadi 1336 orang. Pada 1974, angka naik menjadi 4024 orang.


Perkembangan-perkembangan ini semuanya berdampak besar antara masyarakat Jawa, termasuk yang sebelumnya dikenal sebagai kaum abangan. Pada era politik aliran sebelum tahun 1965, kelompok abangan hanyalah partai-partai politik dan ormas-ormas kecil yang membentengi identitas sosial-budaya-politiknya. Pada masa Orba, benteng itu dihapuskan. Terlebih “serangan agama-budaya” dari pihak pemerintah dan organisasi-organisasi Islam Putihan. Dalam analisa sosio-politik masyarakat Tradisional Jawa, golongan abangan sering disebut sebagai kategori yang penting dan yang primordial, yang tetap ada dan berakar jauh di zaman sebelumya. Kajian ini menjelaskan bahwa abangan merupakan kelompok masyarakat Tradisional yang menganut agama Islam secara terbatas. Akan tetapi, bagaimana dan kapan golongan itu berkembang dalam masyarakat Tradisional, dari mana istilah abangan dan bagaimana sejarah sepanjang waktu golongan itu tak pernah diungkapkan secara tuntas.


IMPLEMENTASI TRADISI BERPIKIR : SEBUAH REALITAS YANG TIDAK FAKTUAL

Perebutan kekuasaan atas ketiga dasar pemikiran ini pada masa sekarang menjadi semakin besar dan terpisah dalam polaritas original position masing-masing. Belum juga dapat saling campur dalam keadaan conceptual-constant seperti yang pernah dipraktikkan pada masa Ir. Soekarno, perseteruan masing-masing dualisme dalam polar original position pun belum berakhir. Pasalnya, dominasi berpikir ini menunjukkan kekuasaan wacana politik dalam pembangunan global. Berpikir merupakan cara menangkap suatu wacana, yang diterjemahkan ke dalam praktik-praktik pembangunan sehingga dengan begitu mewujudkan realitas yang faktual. Namun seiring dengan perkembangan politik, pertarungan praktik berpikir yang merupakan cikal bakal original position seseorang kembali terjadi dan bahkan menjadi kendaraan untuk membenarkan kepentingan suatu kelompok yang menggunakannya.


Konflik berpikir ini menggunakan bahasa sebagai instrument utamanya, yang menyebabkan hegemoni terhadap narasi sejarah sebagai landasan awal berpikir, titik awal berpikir dalam konteks waktu. Akibatnya, individu-individu yang terlibat dalam konflik wacana ini terjebak dalam path dependence, ketergantungan pada alur berpikir buatan pihak eksternal. Ketergantungan pada alur berpikir pihak eksternal ini berdampak pada banyak sekali hal ; narasi dan cita-cita pembangunan, evolusi tradisi berpikir dan intelektual, pemberdayaan ekonomi, dan lain sebagainya. Ketidak-jelasan fondasi sejarah yang diwariskan dalam praktik berpikir menyebabkan individu-individu pelakunya linglung arah dan saling mengkontaminasi masing-masing polar berpikir, serta berdampak pada konsekuensi (praktik) dari aliran berpikir tersebut.


Fenomena ini menyentuh aspek terdalam dalam pembahasan etis : dimensi berpikir sebagai poin pertama dalam Instrumental Rationality yang dikemukakan oleh Rawls (1971) yang melihat bahwa berpikir (akal-budi) menjadi aspek penting untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi. Kesimpang-siuran wacana berpikir (Gadamer – sichverstehen dan einverständnis yang diwariskan) menyebabkan ketidakadilan jaringan individu dalam melihat fenomena sejak dalam berpikir, yang menggunakan pikiran tersebut dalam berpartisipasi terhadap horizon (Grondin, 2000) pembangunan. Tradisi berpikir bukanlah sebuah obyek yang terpisah dan berdiri secara mandiri, melainkan sebagai penghubung (konjungsi) yang menghubungkan dimensi faktual dengan dimensi manusia yang menggambarkannya sebagai sebuah gagasan realitas.


Teori Rawls tentang etika keadilan bersandarkan atas dua prinsip yakni Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right, keadilan harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles yang hanya bekerja jika prinsip pertama bekerja. Prinsip perbedaan berpikir akan bekerja jika basic right tidak ada yang saling mengintimidasi dan meningkatkan ekspektasi kelompok yang teralienasi. Prinsip Rawls ini menekankan terhadap pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan tanpa merampas hak dasar manusia. Bagi Rawls, rasionalitas memiliki 2 bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana berpikir (akal-budi) menjadi aspek untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi dan yang kedua, Reasonable sebagai aspek fungsi dari berpikir non-praktis dari individu dalam jejaring masyarakat. Aspek reasonable melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan berpikir (akal-budi) untuk kepentingan pribadinya dalam mencapai suatu konsep keadilan yang universal, dengan prosedur pengamatan terhadap rangkaian individu dalam masyarakat dipercaya dapat menghasilkan public conception of justice.


Lebih lanjut Rawls menjelaskan metode untuk mencapai public conception dimana keberadaan well ordered society (roles by public conception of justice) dan person moral yang dijembatani oleh the original position menjadi sangat penting. Rawls melihat bahwa setiap orang merupakan moral subjek yang bebas menggagas prinsip kebaikan, tetapi bertolak belakang kepada the original position untuk mencapai tatanan masyarakat yang ‘baik’. Situasi yang ingin dicapai oleh Rawls adalah kondisi highest ordered interest yang dapat tercapai apabila tercipta keadaan public conception of justice, dimana ada keinginan bahwa interest masyarakat tidak diatur oleh interest kelompok. Hal ini memerlukan langkah-langkah yang disebut Rawls sebagai the Reasonable. Maka dapat dikatakan bahwa the highest ordered interest memiliki hubungan erat terhadap public conception of justice.


PANDANGAN PEMBANGUNAN YANG TER-WARISKAN

Hingga dekade terakhir, para peneliti modern tak menghiraukan keberagaman cara berpikir pada masyarakat global. Hal ini diakibatkan penelitian-penelitian, seperti misalnya pada psikologi modern yang menggunakan teknik statistic-sampling dalam pengambilan data dimana teknik ini meyakini bahwa sekumpulan orang (secara prosentase) dapat mewakili kebenaran universal terhadap sifat alami manusia – bahwa semua orang pada dasarnya adalah sama, dan dengan mengabaikan keberadaan enteleki (Arsitoteles) pada segala sesuatu.Dalam banyak kasus, konsekuensinya adalah tindakan menggeneralisir dan kecenderungan meningkatkan inflasi kedirian (diri tunggal ataupun kelompok) individunya. Kecenderungan inflasi diri ini hampir-hampir tidak muncul sama sekali di rangkaian studi di seluruh Asia Timur; bahkan dalam beberapa penelitian kasus psikologi, para partisipan (masyarakat Asia Timur dan juga Indonesia) cenderung meremehkan kemampuan mereka sendiri dibandingkan inflasi nilai diri mereka. Masyarakat Indonesia khususnya, yang ujub melihat bule’ atau cenderung lebih menyepakati pemikiran Eropa ketimbang pemikiran lokal dengan sejuta dalih. Masyarakat ini, Timur, dengan kecenderungan kolektifitas dan pluralnya melihat yang luar lebih baik dari yang dalam, yang Atas lebih baik dari yang dalam, yang Tua yang dipertuan. Sedangkan pada masyarakat global (Barat dan Timur yang telah menerima wacana kebudayaan global) orang-orang yang tinggal di lingkungan individualis juga dapat lebih menekankan pilihan pribadi dan kebebasan sehingga dengannya meningkatkan inflasi diri.


Dalam konteks globalisme pada masyarakat Indonesia, wacana-wacana yang ditangkap dalam kegiatan berpikir menyebabkan suatu keadaan anomie (Durkheim, 1893), suatu keadaan kehidupan masyarakat yang pada suatu sisi telah meninggalkan nilai-nilai lama namun di sisi lain nilai-baru belum tumbuh dan dikuasai secara kuat. Akibatnya adalah pemujaan wacana berpikir terhadap kedirian, baik diri tunggal ataupun kelompok sehingga menyebabkan bias pemikiran kediriannya dalam menyatakan sebuah argumentasi dari wacana kelompok lain. Contoh paling krusial dalam kasus ini adalah munculnya gagasan teori tentang Atlantis Indonesia, ataupun Candi Borobudur sebagai singgasana kerajaan Nabi Sulaiman.


Horizon berpikir sosial tampaknya lebih merujuk kepada aspek berpikir yang fundamental. Tradisi berpikir dalam masyarakat yang lebih kolektif cenderung bersifat lebih ‘holistik’ pada cara masyarakat tersebut dalam memahami sebuah idea, mengamati masalah, dan fokus pada hubungan serta konteks dunia secara faktual. Sebaliknya, tradisi berpikir masyarakat yang berada dalam lingkungan yang lebih individualis (kelompok kecil) cenderung untuk fokus kepada elemen-elemen terpisah yang mempertimbangkan situasi-situasi faktual sebagai hal yang tetap dan tidak berubah. Perbedaan wacana berpikir muncul dikerenakan perbedaan konteks lingkungan alamnya sehingga berbeda pula hasil pengamatan yang direfleksikan dalam filosofi kehidupan masyarakat terkait. Wacana berpikir menampilkan anggapan subyek berpikir terhadap apa yang terjadi di depannya : lingkungan alam, fenomena, bahkan imagery terhadap langit yang ditatapnya. Nisbett (1977) mengemukakan bahwa para filsuf Barat menegaskan kebebasan dan kemerdekaan (democracy), sedangkan tradisi Timur seperti pada wilayah Nusantara (Indonesia kuno) cenderung fokus pada konsep kesatuan dan peleburan (bhinneka dan manunggal). Kejawen misalnya yang membawa pandangan Manunggaling Kawula Gusti, Bali yang membawa pandangan Tri Hata Karana, atau Kaharingan yang mengasosiasikan alam semesta dalam konsep Pohon Ranying.

Dalam konteks globalisme pada masyarakat Indonesia, wacana-wacana yang ditangkap dalam kegiatan berpikir menyebabkan suatu keadaan anomie, suatu keadaan kehidupan masyarakat yang pada suatu sisi telah meninggalkan nilai-nilai lama namun di sisi lain nilai-baru belum tumbuh dan dikuasai secara kuat.DURKHEIM, 1893

Cara berpikir yang berbeda dalam melihat dunia faktual ini tertanam dalam literatur, pendidikan dan institusi politik, sehingga mungkin tidak mengejutkan jika ide tersebut telah terinternalisasi, mempengaruhi sebagian proses psikologis yang paling mendasar. Penyamarataan dan penyeragaman penyampaian narasi (tradisi) berpikir ini akan mempengaruhi bagaimana individu melihat dan memperlakukan kelompoknya, ataupun the others sehingga dengannya melakukan gerak dan nafas pembangunan bersama, serta mencapai tatanan masyarakat kolektif.


Bersikaplah adil, dimulai sejak dalam berpikir.

3 views0 comments

Recent Posts

See All

VASTHU / / E(S)TETIKA

Elemen paling penting dalam estetika adalah cahaya, katanya. Tapi kegelapan juga penting dalam elemen estetika kerena kegelapan...

Comments


bottom of page