top of page
Search
  • Writer's picturePrau

GENERASI z – α : PULANG KEMANA?

Isu Global dan Teori Pembangunan - Arsitektur


Dalam membentuk peradabannya, manusia selalu membutuhkan tempat untuk menyatakan wujud dunia dimana ia berada yang memperlihatkan citra kehidupan yang ditangkap melalui pengalaman indrawi sehingga dengannya membentuk kelola lingkungan dalam bentuk-bentuk arsitektur. Bentuk-bentuk ini menjadi objek fisik paling melekat dengan dunia manusia yang dipengaruhi serta mempengaruhi terbentuknya gejala-gejala berpikir manusia melalui anggapan citra (image), kesesuaian warna dan bentuk bangunan dengan situasi alam sebagai latar belakang, nuansa melalui intonasi elemen-elemennya, kondisi dan sirkulasi udara, hingga pembentukan suasana yang muncul dari tata kelola spasial.

Arsitektur sebagai artifak dunia manusia menjadi titik tengah antara pengetahuan, kehendak, serta lingkungan yang mengantarkan dunia manusia dalam membentuk peradaban yang lebih besar. Ia juga membagi lapis-lapis peradaban manusia dari sektor publik, hingga ke sektor privat sehingga dengannya turut membentuk skema kegiatan manusia yang terlibat di dalamnya. Hal ini yang menjadi dasar pandangan bahwa bentuk bangunan arsitektur yang mewaktu : baik dari citra hingga guna, mengejawantahkan dunia manusia serta menunjukkan kecenderungan manusia dalam menghadapi lingkungan alam, hasrat kehidupan, keinginan keseharian, watak personal penggunanya, serta nafsu manusia dalam menggunakan segala sesuatu.

Namun dinamika dari aktifitas kehidupan manusia yang serba cepat justru menciptakan keterasingan manusia dalam mengalami kamar arsitektur. Kamar dan gedung yang pada masa awalnya diciptakan sebagai lahan untuk pulang, pada masa berikutnya justru menjadi sebatas lahan-lahan bersekat yang menjadi tempat untuk bersembunyi. Fenomena sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dari waktu ke waktu juga turut memengaruhi aktifitas manusia dalam melakukan kamar-kamar arsitektur, dimana generasi-generasi pada masa sebelumnya memberikan warisan wacana dan pandangan kehidupan yang secara tak langsung justru mengeksploitasi kehidupan generasi-generasi pada masa sekarang (millennials, z dan α) dengan menggiring paradigma bekerja, kepenguasaan informasi dan pengetahuan, serta kepenguasaan lahan dan kenaikkan harga-harga yang menyebabkan generasi-generasi ini tidak mampu membeli/memiliki lahan untuk tempat tinggal. Ketidakmampuan ini semakin diperparah dengan munculnya kelas sosial precariat yang tereksploitasi sejak dalam pikirannya : mengetahui banyak informasi pekerjaan namun tidak dapat menegakkan hukum dan hak atas dirinya, bekerja secara berlebihan namun secara sukarela bersedia dibayar lebih murah. Eksploitasi ini begitu menyita waktu pekerja-pekerja dari generasi ini sehingga dengannya kelompok tersebut kehilangan waktu-waktu untuk dirinya yang dengannya dapat memulihkan kondisi mental dan mencapai spiritualitasnya.

Dalam pembangunan arsitektur yang merepresentasikan dunia manusia, pencapaian akhir dari pembangunan arsitektur adalah bukan lagi berorientasi pada perkembangan (progress) dunia manusia, melainkan hadir untuk pemenuhan eksistensi diri manusianya : mencapai sebuah pulang-dunia yang merepresentasikan kepulangan kosmiknya, yang dengannya dapat menggambarkan ‘ketenangan’ jiwanya setelah kematian, untuk dirinya bersedia mewariskan segala pencapaian dunianya kepada setiap penerusnya dan melepaskan nafas terakhir hidupnya dengan mengatakan ‘aku pulang’…



ARSITEKTUR, WADAH MENGADA DAN BERADA.

Sebelum era sains Barat dan langgam modernisme digaungkan, kelimuan professi arsitektur umumnya diperuntukkan pada pekerjaan publik yang bersifat kenegaraan dan juga keagamaan. Tata kelola arsitektur pada masa tersebut berupaya mewakili perwujudan alam kosmik yang direnungi dalam konsep kebudayaan pada lingkungan dimana ia mengejawantah. Pada bangunan candi Borobudur sebagai misal, yang menampilkan pandangan pembagian dunia pada tiga lapis kehidupan yakni tahap kamadhatu (alam kama – dunia bawah), rupadhatu(alam rupa – dunia tengah), serta arupadhatu (alam tak berwujud – nirvana(dunia atas)) merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan Buddha dalam melihat tahap-tahap kehidupan yang ditampilkan sesuai dengan konteks lingkungan alam sekitarnya.



📷 Sumber : Media Matrasain : Jurnal Arsitektur dan Perencanaan Kota. Volume14, No.1, Maret 2017


Pandangan ini juga tertuang dalam pembentukan kelola perkampungan yang dihela oleh pemerintahan pada masa tersebut, dimana sistem tata kelola bangunan baik individual ataupun komunal berupaya untuk menampilkan prinsip-prinsip pandangannya tentang alam semesta. Pandangan tersebut menyentuh aspek terdalam dalam pembahasan etis : dimensi berpikir sebagai poin pertama dalam Instrumental Rationality yang dikemukakan oleh Rawls (1971), untuk mencapai public conception dimana keberadaan well-ordered society (roles by public conception of justice) dan person moralyang dijembatani oleh the original position menjadi sangat penting dalam mencapai sebuah keadaan yang disepakati sebagai sebuah ‘kebaikan’. Maka itu, setiap kebudayaan mengambil conceptual-constant ini dan menamainya sesuai dengan langgam kebudayaannya masing-masing. Di Bali, misalnya, pandangan ini disebut sebagai Asta Kosala-Kosali yang menjadi tradisi berpikir yang membawa seperangkat dasar-dasar, aturan-aturan, serta kehendak budaya sehingga dengannya membentuk sebuah horizon berpikir sosial dalam melihat dunia yang faktual. Di Jawa, pandangan ini disebut Kawruh Griya. Atau kebudayaan India yang memiliki Vasthu Purusha Mandala, kebudayaan China yang mengenal Feng Shui, atau kebudayaan rasional Eropa yang membawa tradisi berpikir Vitruvius.


📷



TRADISI AWAL ARSITEKTUR DI INDONESIA

Keberagaman original position ini pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia menjadikan wilayah Nusantara (pra-Indonesia) memiliki keberagaman pemikiran dan pengungkapan ekspressi (bhinneka) yang disebabkan oleh berbedanya struktur ekologi di setiap wilayah. Dalam perkembangan ini, masing-masing kebudayaan tersebut belum mencapai posisi finalsehingga transformasi bentuk arsitektur selalu bersifat sementara, yang diasosiasikan sebagai pohon rindang tempat berteduh (J. Prijotomo, 2014). Misalnya adalah bangunan tradisional kebudayaan Jawa, dimana pemilik rumah menganggap bahwa eksistensinya di rumah tersebut hanyalah menumpang, dan sang Dewa, adalah pemilik dari rumah tersebut sehingga rumah tersebut suatu saat akan diwariskan ketika manusia tertua di rumah telah meninggal dunia. Atau Rumah Lamin pada suku-suku pedalaman Kalimantan yang membangun rumah dengan menggunakan bahan-bahan ringan banua sehingga dapat dibongkar-pasang ketika suku tersebut akan berpindah tempat tinggal.

Namun kolonialisme bangsa Eropa yang bermula sejak abad ke-19, menyebabkan ekspansi masyarakat Eropa ke seluruh dunia termasuk ke wilayah Indonesia kuno. Dalam fokus ini, negara-negara Eropa memandang dirinya sebagai bangsa yang adiluhur sehingga dengannya bangsa Eropa berpikir harus menyebarkan gagasan tentang Ilmu Pengetahuan kepada seluruh dunia dan mencerahkan dunia melalui semangat Aufklärung. Penyebaran gagasan ini pada awalnya hanya bermula pada ketertarikan para kelompok naturalis Eropa terhadap hutan hujan Indonesia, terutama Alfred Russel Wallace, yang selain menuliskan tentang keindahan alam Indonesia namun juga memberi konstruksi abadi terhadap pandangan keilmuwan ekologi dan berdampak pada arsitektur di Indonesia.

Langgam naturalis yang pernah berdengung dan memukau masyarakat lokal, justru berbalik menjadi kependudukan bangsa Eropa dengan mendirikan wilayah-wilayah kolonial, serta mengeksploitasi wilayah-wilayah yang memiliki nilai kebudayaan dan tradisi yang radikal terhadap lingkungan ekologinya sendiri ke dalam sistem Pemerintahan Eropa yang berangkat dari pemikiran ekologi dan kebudayaan di Eropa. Akibatnya, bangunan-bangunan bergaya Eropa berdiri dengan menggunakan prinsip iklim empat musim, ornament-ornament yang menceritakan semangat dan sejarah Eropa, serta metode pengetahuan yang lebih bersifat rasional ketimbang intuitif khas kebudayaan Timur. Bangunan-bangunan ini berdiri sebagai simbol kependudukan masyarakat Eropa dalam sistem kolonialisme di wilayah Indonesia kuno untuk menunjukkan eksistensi kepenguasaannya, dan untuk mencerahkan bangsa-bangsa diluar dirinya dalam semangat Aufklärung. Bangunan-bangunan ini pada masa berikutnya menjadi subjek percontohan keilmuan arsitektur yang digunakan pada kegiatan-kegiatan pembangunan arsitektur yang dihela oleh negara dan institusi akademis.

Sejak kebangkitan Revolusi Industri pada Perang Dunia I, kebutuhan akan tenaga teknik meningkat pesat dan mendorong Pemerintah Eropa untuk mencari tenaga tambahan dari negara-negara kolonial. Desakan ini berdampak pada berdirinya Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS – 1920) di wilayah Indonesia kuno yang merupakan salah satu sekolah teknik pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial. Keberadaan sekolah ini memberi banyak pengaruh terhadap perkembangan arsitektur, terutama terkait material, prinsip, semangat serta nilai guna pada bangunan. Pada tahun 1942, bangunan kolonial mulai mengakulturasikan prinsip-prinsip intramurros yang mulai menyesuaikan dengan struktur alam ekosistemnya dan THS berganti nama menjadi Institute of Tropical Scientific Research. Berbeda dengan THS, ITSR lebih banyak melakukan penelitian konteks lingkungan terhadap kegunaan sumberdaya alam lokal seperti kayu dan bambu untuk digunakan sebagai struktur bangunan.

Tetapi, kekalahan Belanda pada Perang Dunia II oleh Jepang menyebabkan bergesernya sistem pemerintahan kolonial di wilayah Hindia Belanda. ITSR pun diganti nama menjadi Bandoeng Koogyo Daigaku(BKD) untuk lebih menyesuaikan diri dengan sistem kekuasaan Jepang. Pada pergantian nama ini, tidak banyak terjadi perubahan pada prinsip arsitektur, tetapi menjadi kali pertama munculnya guru besar dari bangsa Indonesia, Ir. Roosseno dan kali pertama pula penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di semua sekolah. Hal ini mendorong kepercayaan diri kelompok intelektual di masa tersebut. Kelak, pada masa berikutnya Presiden pertama RI Ir. Soekarno memberikan mandat yang berdampak pada bermunculannya universitas-universitas di Indonesia, yang berdampak pula pada penyebaran pengetahuan teknis arsitektur Eropa seperti di UNHAS yang didirikan melalui Surat Keputusan Medikbud tanggal 10 November 1963, jurusan arsitektur Universitas Indonesia yang berdiri melalui Kepres No.76 tanggal 17 Juli 1964. Fenomena ini juga mendorong kelompok-kelompok professionaluntuk mengajar dan membentuk jurusan arsitektur, seperti di ITS. Tahun-tahun tersebut menjadi momentum berkembangnya sayap-sayap pendidikan arsitektur di Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, paradigma kebudayaan dan ekonomi negara bergeser menemukan posisi barunya dalam panggung dunia global. Pencarian identitas kenegaraan dilakukan untuk merespon ragam peristiwa global yang terjadi pada masa-masa tersebut. Di Indonesia sendiri, perekonomian negara Indonesia yang baru saja berdiri menjadi porak-poranda dan sangat sedikit masyarakat yang memiliki kekayaan pribadi. Hal ini disebabkan sistem kekayaan dan distribusi perekonomian pada masa sebelumya dikuasai oleh Pemerintah kolonial. Maka, para saudagar Arab dan Cina yang memiliki sistem kekayaan terpisah dengan sistem Pemerintah Kolonial menjadi kelompok-kelompok yang masih memiliki kekayaan pribadi pada masa pasca-kemerdekaan Indonesia. Hal ini menjadi euphoria kebebasan yang begitu besar sehingga kelompok-kelompok ini menggunakan modal kekayaan mereka dalam menyewa jasa Insinyur lulusan STT Bandoeng untuk mengekspressikan kegembiraan mereka dengan membangun rumah-rumah tinggal pribadi. Hal ini merupakan momentum dalam trend sejarah arsitektur di Indonesia, kerena menjadi kali pertama jasa arsitektur diperuntukkan kepada selain bangunan Keagamaan dan Pemerintahan. Bangunan-bangunan ini disebut Jengki atau Yankee dengan elemen-elemen bangunan Amerika mid-century yang sangat berani, menolak kubisme dan keteraturan, sudut-sudut liar dan atap yang tidak biasa.


📷

Sumber : vice.com - Arsitektur Jengki



GEJALA AWAL KLOROSIS DALAM PEMBANGUNAN ARSITEKTUR

Momentum pertumbuhan gedung hunian di Indonesia, telah direncanakan sejak masa kepemimpinan Presiden Ir. Soekarno pada tahun 1950-an dimana Yayasan Kas Pembangunan (YKP) membangun 12.460 unit rumah modern bagi rakyat Indonesia oleh Perumnas dan dilanjutkan oleh Presiden Soeharto pada masa Orde Baru dengan membawa nafas pembangunan dari faham modernisme yang digaungkan oleh Rostow. Dalam melakukan kebijakan ini, Soeharto kemudian membentuk Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) dengan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai fasilitator Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang bertujuan menyediakan perumahan yang layak, sehat dan terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah seperti yang tercetus dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada era kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya, di tahun 1974, diresmikan sebuah BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yakni Perumnas. Modernisme yang digaungkan selama masa Orde Baru tentu bertolak-belakang dengan model pembangunan Ir. Soekarno yang berhaluan politik kiri kerena latar-belakang perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme Eropa. Pemerintahan Orde Baru cenderung mempromosikan pertumbuhan ekonomi neoliberal dengan melakukan intervensi kebijakan untuk mempromosikan investasi, baik melalui kebijakan moneter atau secara langsung melalui pengeluaran Pemerintah. Peran Pemerintah ini juga dipandang sebagai cara untuk ‘menjinakkan krisis’. Gagasan ini dipopulerkan oleh Keynes (1926) yang berangkat dari ide ekonomi Inggris, dan menentang laissez-fairedengan penghelaan sistem pembangunan mulai dari perekonomian, pendidikan serta infrastruktur oleh peran negara dalam rangka peningkatan standar hidup masyarakatnya.


📷

Rumah ‘asli” tipe 21/90 M2 di Jalan Karimun Jawa 12 ,Perumnas Setia Mekar, Bekasi Timur, Jawa Barat, difoto pada tahun 1992 ( 25 tahun lalu) – diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1989. Sumber : Beritarayaonline.co.id > sejarah Perumnas


Namun, keterlibatan BTN sebagai fasilitator rupanya mempersulit masyarakat umum untuk mendapatkan rumah subsidi dengan alasan ketiadaan jaminan kekayaan dan pembayaran. Persyaratan menjadi lebih mudah diakses oleh kelompok PNS dan anggota militer negara. Akibatnya, sejak masa itu masyarakat Indonesia mulai menggandrungi pekerjaan PNS dan anggota militer : baik TNI ataupun POLRI yang memberikannya jaminan terhadap kepemilikan rumah pribadi. Hal ini sangat memperkuat kedudukan politik Presien Soeharto yang ketika Golkar memenangkan Pemilihan Legislatif ke-2 menyatakan dua kebijakan besar ; Penciutan partai politik menjadi 3 partai, dan PNS secara otomatis bergabung ke dalam partai Golkar.

Hal ini menciptakan wacana ekonomi baru yang ditampilkan oleh sekelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya. Pasalnya, trendyang memandang bahwa pekerjaan PNS adalah pekerjaan yang menjanjikan menyebabkan bertumbuhnya minat pada pekerjaan tersebut serta peledakkan urbanisasi yang juga meningkatkan kebutuhan lahan huni di wilayah perkotaan.

Revolusi Industri juga mulai berkembang pada tahun-tahun 80’an ditandai dengan berdirinya pabrik-pabrik raksasa yang banyak menggusur lahan-lahan pertanian sehingga menyebabkan para petani setempat beralih professi dan melakukan hijrah ke kota-kota besar. Namun, kota-kota besar tentunya tidak sesiap itu dalam menyambut peledakkan populasi dan tidak semua lapangan pekerjaan tersedia. Akibatnya, pengangguran bermunculan di kota-kota besar yang mengakibatkan bertumbuhnya pemukiman liar. Pada masa-masa ini, wilayah perkampungan transmigrasi baru seperti Bantargebang atau pemukiman pinggir kali tumbuh berkembang. Hal ini menyebabkan timbulnya dampak-dampak minor yang tidak diinginkan dalam penataan pembangunan sehingga drama-drama penggusuran mulai bermunculan. Namun bukan berarti tanpa perlawanan, gerakan-gerakan yang muncul dari modal sosial bermunculan untuk bertahan atau sekedar merespon wacana tersebut. Seperti misalnya pada Kampung Kalicode pada yang dengan peran Y.B Mangunwijaya (Romo Mangun) bersama komunitas-komunitas sosial dan seni dalam merespon kebijakan penggusuran untuk pembangunan tersebut.

Gagasan tentang modal sosial memberi kontribusi yang besar dalam membentuk norma-norma dan nilai dalam kegiatan sosial untuk mencapai sebuah tujuan masyarakat dan terwujud melalui komitmen individu terhadap budayanya. Hal ini juga merupakan faktor-faktor pembentuk kualitas dan kuantitas hubungan antar individu dan antar budaya dalam melakukan tahapan pembangunan lokal. Dengan memanfaatkan potensi modal sosial dalam kebudayaan atau nilai-nilai kemasyarakatan, partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dapat meningkat dan secara sukarela berperan aktif berpartisipasi di dalamnya, seperti : merencanakan, melaksanakan dan menerapkan pembangunan di perkampungannya sendiri.

Hal tersebut pernah dinyatakan oleh Malthus (1798) sebelumnya yang berpendapat bahwa proses pembangunan berbasis ekonomi adalah suatu turunnya aktifitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar atau tidaknya aktifitas ekonomi tersebut. Dalam teori ini, Malthus tidak menggambarkan adanya gerakan perekonomian menuju keadaan stationer melainkan adanya kemerosotan beberapa kali sebelum mencapai tingkat tertinggi dari pembangunan secara niscaya. Menurutnya, pertumbuhan penduduk adalah akibat dari proses pembangunan. Namun pertambahan penduduk tidak bisa terjadi tanpa peningkatan kesejahteraan yang sebanding. Gagasan ini mempengaruhi dunia professionalarsitektur di Indonesia pada pertengahan tahun 80’an, ditandai dengan mulai bertumbuhnya perusahaan-perusahaan raksasa properti. Pada tahun 1986, Perusahaan Pengembang Agung Podomoro mengakuisisi PT. Indofica Hausing yang menjadikannya sebagai salah satu pelopor konsep pemukiman yang terintegrasi dan lengkap. Pt Pakuwon Jati. Tbk memulai kegiatan komersialnya di bidang pusat perbelanjaan (Tunjungan Plaza Mall, Supermall Pakuwon Indah, Royal Plaza, Blok M), pusat perkantoran (Menara Mandiri, Gandaria 8 Office), hotel dan apartemen (Sheraton Surabaya, Somerset dan Ascott Waterplace) serta real-estate (Pakuwon City, Gandaria City dan Kota Kasablanka).

Pertumbuhan pembangunan pada dekade berikutnya menunjukkan pertumbuhan trend ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia dan memicu berkembangnya aliran teknokratik dalam disiplin aritektur. Aliran ini berangkat dari sudut pandang anthroposentrik dengan memfokuskan pembahasan pada manusia. Secara umum, pendekatan ini dapat dikatakan tidak melibatkan perubahan radikal dalam sistem ekonomi dan politik, melainkan mengadopsi suatu pendekatan keilmuan Eropa yang lebih bersifat teknis. Pada sektor pendidikan arsitektur, aliran ini berkembang melalui peran Ir. Ciputra di Surabaya yang mendirikan Universitas Ciputra dengan tujuan memberikan prinsip Entrepreneurshipkepada pendidikan di Indonesia, yang juga diterapkan pada praktik professionalarsitektur. Hal ini mempengaruhi perkembangan jumlah arsitek di bidang real-estatedan properti dengan gaya-gaya minimalis, modern, dan warna-warna yang mencolok.

Selisih beberapa tahun kemudian PT. Alam Sutra Reality (ASRI) berdiri dan segera mengembangkan proyek pertama di Kawasan terpadu di wilayah Serpong Utara. Perumahan ini pada masa berikutnya menjadi price leader untuk kawasan-kawasan di sekitarnya dan cukup banyak memiliki pengaruh pada perekonomian wilayah ibukota pada masa tersebut. Seiring dengan munculnya perusahaan ini, PT. WIKA melebarkan sayapnya menjadi WIKA BETON yang telah mengkonsentrasikan pekerjaannya pada industri beton pracetak sejak tahun 1977. Bermunculannya perusahaan-perusahaan arsitektur swasta ini merupakan fenomena yang menjelaskan hadirnya konsekuensi pertumbuhan teori neoliberal di Indonesia.

Teori neoliberal merupakan pengembangan dari teori klasik kapitalisme yang tumbuh sejak tahun 1970an dimana peran pemerintah mulai dipertanyakan oleh masyarakatnya. Penganut faham ini mengimani bahwa kondisi pasar-bebas mampu memajukan perekonomian masyarakat dengan meminimalkan intervensi negara. Kelompok Liberal berpandangan bahwa pemerintah sebaiknya hanya menjalankan urusan-urusan yang tidak dapat dikerjakan oleh individu, dan bersifat public goods. Sistem ini sendiri berkembang di Indonesia pada akhir periode 80’an dan awal 90’an yang menggeser perekonomian Indonesia dari sektor keuangan, industri, dan perdagangan. Pakto 88 dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia yang ditandai dengan menjamurnya industri perbankan dan transaksi utang luar negeri dari perusahaan-perusahaan swasta, khususnya pada perusahaan properti.

Krisis Finansial Asia yang terjadi pada tahun 1997 menjadi momentum yang menyebabkan harga tanah menjadi sangat murah. Hal ini mengakibatkan para perusahaan pengembang melakukan pembelian tanah besar-besaran sehingga dengannya dapat meringankan modal pengembangan properti dan real-estateserta menetapkan harga tanah pada kota-kota besar di Indonesia. Namun serentetan peristiwa yang terjadi di tahun-tahun tersebut menghambat pertumbuhan pelaksanaan pekerjaan. Kerusuhan besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pada demonstrasi tahun 1998 menyebabkan banyak properti yang rusak yang menyebabkan harga tanah semakin murah dan sepi peminat.

Memasuki awal abad millennium, bermunculan industri perumahan cluster bergaya minimalis, bercampur dengan gaya tropis, yang banyak digemari sebagai trend industri arsitektur awal millennium. Trendini menawarkan hunian murah yang dibangun berkelompok dalam satu lingkungan dengan bentuk rumah yang seragam. Dengan konsep kultur-pop, gaya ini memiliki tampilan-tampilan mencolok, warna-warna berani dan harga yang terjangkau yang disukai oleh masyarakat-masyarakat perkotaan pasca-krisis dan tragedi ‘98. Trendini juga dipopulerkan melalui peredaran buku-buku arsitektur yang menawarkan inspirasi desain rumah di toko-toko buku komersil. Pada masa ini, lalu-lintas pengetahuan tentang gaya arsitektur sangat dipengaruhi oleh pandangan neoliberal yang telah tumbuh pada masa sebelumnya dan memengaruhi perkembangan praktik professi arsitek. Pertumbuhan paradigma ini dipacu dengan kepemilikan lahan oleh beberapa perusahaan pengembang besar dan bermunculannya lulusan baru prodi arsitektur dengan jiwa entrepreneurship.


PENDIDIKAN DAN PERGESERAN WACANA KEBUDAYAAN

Peran pendidikan oleh lembaga akademik juga turut mempengaruhi bertumbuhnya minat hunian pada kota-kota yang memiliki kampus-kampus besar yang menyebabkan kota-kota tersebut kedatangan mahasiswa dari daerah-daerah lain. Seiring dengan bertumbuhnya minat terhadap pendidikan turut juga berdampak pada kebutuhan hunian sementara yang diperuntukkan kepada mahasiswa : dengan rata-rata berusia remaja, modal perekonomian dari orang tua / kiriman dari kampung halaman, serta kondisi emosi dan jiwa muda yang mungkin cepat bosan serta penuh keinginan juang untuk mendapatkan pembelajaran melalui pengalaman hidupnya. Akibatnya, rumah kos hadir dengan menawarkan harga yang relatif terjangkau untuk kondisi ekonomi ini dan sistem pembayaran bulanan yang memungkinkannya untuk berpindah kamar kos jika merasa bosan atau memiliki alasan lain. Sistem hunian pada rumah-rumah kos bersifat sementara dan semi-tetap, yang dihuni oleh mahasiswa lain yang berasal dari disiplin studi (jurusan) berbeda yang memungkinkan di dalamnya terjadi pertukaran wawasan. Dan kerena sifat wadahnya yang berada dalam satu atap, maka lebih memungkinkan juga untuk mahasiswa-mahasiswa tersebut terlibat secara emosional, bersamaan dengan pertukaran wawasan yang memungkinkannya untuk menciptakan tujuan baru dalam pembangunan pada masa berikutnya.


📷

Pembagian kamar (spasial) pada gedung kos memungkinkan penghuninya yang berasal dari ragam latar belakang : daerah asal, pemikiran dan disiplin ilmu untuk bertemu, berinteraksi dan terlibat secara emosional. Sumber : kosngosan.com


Bertumbuhnya gedung-gedung kos ini juga berdampak pada bertumbuhnya kegiatan perekonomian di sekitar seperti rumah makan, jasa pencucian pakaian (laundry), kedai kopi, bahkan mall yang disesuaikan dengan selera penggunanya. Penyesuaian selera ini muncul sebagai respon sekaligus menarik minat mahasiswa untuk menggunakannya sebagai area berbelanja, atau sekedar bersantai (nongkrong) yang menyebabkannya menjadi tempat-tempat favorit bagi anak muda. Pada tempat-tempat bersantai seperti kedai kopi, memungkinkan mahasiswa untuk bersantai lebih lama dan berinteraksi dengan pengunjung lain yang berakibat pada pertukaran wacana secara lebih serius dan memiliki privasi terhadap emosi yang berbeda dengan pertukaran wawasan pada rumah kos. Bahkan, pada beberapa konteks, diskusi seperti ini menjadi sebuah acara formal yang mengundang orang-orang lain untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan diskusi. Pada tingkat ini, wacana-wacana dari lintas disiplin ilmu dipertukarkan : terbentur, terbentur, hingga kemudian terbentuk tradisi baru yang mempengaruhi wujud peradaban pada masa berikutnya : Yogyakarta dan Malang sebagai kota pelajar, Jakarta sebagai kota bisnis, atau Bandung sebagai kota fashion.

Pada masa selanjutnya, tradisi yang tersemai tersebut juga memengaruhi pertumbuhan aktifitas kebudayaan pada masa ketika mahasiswa-mahasiswa pembentuk tradisi tersebut telah menyelesaikan pendidikannya. Beberapa penggila diskusi warung kopi yang telah menemukan original position dalam wacana tradisi ini kemudian merasa ‘terpental’ dari tradisi lama di lingkungan pergaulan pada kota asalnya, sehingga membuat beberapa diantaranya memutuskan untuk bertahan di perantauan di kota dimana ia mendapatkan pendidikan : bekerja dan mendapatkan uang, berbelanja, berhuni, serta ber-eksistensi. Hal ini memengaruhi kondisi perekonomian kota tersebut dan memunculkan kebutuhan gedung-gedung arsitektur baru dengan tendensi untuk menampung aktifitas perekonomian kelas baru ; mega-mall, restaurant, bar, perumahan cluster, bioskop, cukur rambut, bahkan tempat-tempat wisata. Kemunculan gedung-gedung arsitektur dengan tendensi ini bukan hanya sekedar mengubah lalu-lintas pemikiran atau menampung kegiatan manusianya saja melainkan juga memengaruhi kenaikan-kenaikan harga lahan di sekitar gedung-gedung tersebut. Dengan dalil ‘aksesibiltas’, harga-harga lahan yang terletak pada kawasan-kawasan strategis kemudian meledak hingga mencapai harga yang fantastis. Nilai strategis suatu lahan ini pada dasarnya diukur dari kecenderungan keinginan masyarakat yang menggunakannya, sesuai dengan tradisi yang terbentuk pada kota tersebut. Pada kasus kota-kota besar, setiap lahan kemudian mendapatkan nilai ‘strategis’ berdasarkan keberadaan gedung arsitektur tertentu yang menyebabkan kenaikan harga lahan hingga mencapai angka-angka yang tak masuk akal dibandingkan pendapatan pekerja di kota tersebut, yang dipromosikan pada kampus-kampus arsitektur.

Pandangan tersebut pada masa berikutnya memunculkan wacana kemewahan tersendiri dalam membentuk iklim hunian. Apartement, Student-apartementhingga kost-exclusive berdiri mengakuisisi lingkungan-lingkungan hunian pada masa sebelumnya. Pada masa awal, umumnya gedung-gedung ini dibangun pada lahan-lahan terdekat dengan kampus, mall, perkantoran dan dengan menggusur wilayah-wilayah urban kota dan persawahan. Akibatnya, lahan sawah semakin sedikit dan semakin mengubah citra suatu perkotaan.


📷

Citra visual Apartemen Taman Melati di UGM, Yogyakarta. Elemen-elemen dalam pencitraan gambar ini mempengaruhi perspepsi manusia yang memandangnya tentang aktifitas yang ada di wilayah dan sekitaran kota tersebut. Lebih lanjut, persepsi ini menimbulkan gairah dan cita-cita yang akan dilakukan selama eksistensi manusianya di kota tersebut. Sumber : Adhipersadaproperti.com


📷

Gambar kondisi apartemen Taman Melati yang berdiri di wilayah urban dan persawahan. Sumber : rumahdijual.com


Sayangnya, pertumbuhan yang bertolak dari ‘keterpentalan’ tradisi kota sebelumnya ini membentuk sebuah tradisi kebudayaan baru yang sering sama sekali berbeda dengan kebudayaan pada masa sebelumnya. Dengan membaurkan seluruh pandangan kebudayaan kota asal, wacana politik, fenomena sosial dan diskusi akademis. Masyarakat ini mengaburkan nilai-nilai kebudayaan lama yang berangkat dari penghayatan terhadap alam lingkungan setempat. Kebudayaan baru ini menitikberatkan sejarah dan ekosistem pemikiran manusia secara anthroposentrik, baik kelimuan hingga politiknya. Pertumbuhan kelas baru tersebut semakin cepat dan bagi mereka yang memiliki dana berlebih, mengincar properti hunian sebagai sarana investasi. Akibatnya, harga hunian semakin menjulang tinggi. Hal ini menyebabkan kelompok yang penghasilannya menengah kebawah semakin terpinggirkan karena harganya yang semakin tak terjangkau. Namun, tidak semua konsumen perumahan premium di kota tersebut menjadikan rumah itu sebagai hunian pertama atau kedua. Ada di antara mereka yang memilih menyewakan kembali atau hanya untuk berinvestasi dalam bentuk rumah kos. Akibatnya, kos-kos berwacana exclusivebermunculan dan menawarkan kosep hunian mahasiswa dengan fasilitas yang serba lengkap sehingga dengannya meningkatkan individualitas penghuninya yang juga mengurangi interaksi penghuni tersebut terhadap penghuni lainnya. Hal ini berdampak kepada berkurangnya kepekaan personal penghuni tersebut terhadap realitas dimana ia berada, baik dari keadaan tetangga manusia atau bahkan letak pohon pisang yang paling dekat dengan huniannya.




Sumber : Tirto.id


Dalam mengadapi pertumbuhan yang mulai timpang ini, wacana memindahkan hunian horizontal kedalam susunan vertikal dalam bentuk seperti rumah susun, rusunawa (rumah susun hak sewa), rusunami (rumah susun hak milik), hingga wacana kampung susun yang mencoba mem-vertikalkan aktifitas perkampungan dan menampungnya dalam sebuah konstruksi tunggal. Pada pembahasan kampung vertikal, Negara Singapura telah memulai wacana ini sejak awal-awal milenium dan mulai merealisasikannya pada tahun-tahun berikutnya. Kampung Vertikal : The Interlace yang dirancang oleh arsitek Scheeren Ole adalah salah satu gedung kampung susun yang pada tahun 2015 mendapatkan penghargaan World Building. Wacana ini mulai didiskusikan semenjak penelitian tesis dari National University of Singapore berjudul Low Resistance to Resettlement in Singapore, 196501985 : A Clumsy Approach That Overcame A Wicked Problemyang menyatakan bahwa pemindahan warga Singapura dari rumah tapak ke hunian vertikal dapat berhasil jika disertakan dengan kultur serta aktifitas history-nya.


📷

Kampung Vertikal The Interlace Sumber : www.designboom.com


Indonesia kemudian menyusul pada tahun 2013 melalui kegiatan diskusi JVK Masterclass yang melibatkan peran-peran expertisedari berbagai macam disiplin ilmu. Wacana ini menargetkan hunian vertikal dengan membawa nuansa perkampungan di kota besar sehingga dengannya dapat menampung local-wised dalam sebuah gedung. Akan tetapi, pemindahan aktifitas kampung secara vertikal ini juga membawa serta emosi manusianya yang memiliki ‘keterikatan’ pada tanah secara kultural dan spiritual.


MEKANISME PEMULIHAN DIRI YANG DIHENTIKAN

Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam buku Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta : Jalan Politik Kemakmuran Indonesia menjelaskan bahwa pembangunan (property) di kota-kota besar yang seharusnya mengupayakan pengentasan kemiskinan justru menjadi ‘upaya’ penggusuran masyarakat miskin. Permukiman urban pada kawasan kampung pada wilayah perkotaan yang saat ini berdempetan dengan gedung mall, hotel dan pusat perkantoran justru memperlihatkan ketimpangan besar dalam pembangunan wilayah perkotaan. Ragam penggusuran ini meskipun menawarkan wacana perekonomian baru pada wilayah tersebut, namun pada hakikatnya justru menggantikan posisi penghuni wilayah tersebut dengan orang lain yang lebih mampu membayar. Merespon hal ini, masyarakat setempat dengan menggunakan modal sosial membentuk organisasi yang mengupayakan perlawanan terhadap rezim yang dipandang menguasai lahan secara diskriminatif. Sebagai contohnya adalah pemutaran film Belakang Hotel (2015) yang dilakukan atas kerjasama jurnalis Watchdog dengan Komunitas Warga Berdaya di Yogyakarta. Film ini mengangkat isu Jogja Asat (kering), tentang asat-nya (keringnya) sumur pada pemukiman penduduk akibat pembangunan bangunan-bangunan vertikal (hotel, mall, kost, apartement, …) yang cukup rakus dalam menyedot sumber air bawah tanah dan juga menyebabkan penggeseran nilai-nilai sosial pada wilayah perkampungan sekitarnya dengan penularan ide-ide pembangunan melalui visual.

Berangkat dari modal sosial yang muncul sebagai respon terhadap fenomena sosial yang sedang eksis, pendekatan semacam ini lebih menekankan kepada interaksi horizontal dan tumbuh secara inisiatif pada masyarakat roots. Model ini tidak ditemukan dalam model top-down dimana paradigma pembangunan menempatkan masyarakat sebagai sasaran tak berinisiatif, tak berkeinginan dan hanya sebatas tabula-rasa dimana segala kebutuhan, hasrat dan kehendak reproduksi dapat dikendalikan oleh negara seperti yang digaungkan dalam konsep pembangunan Modern. Pendekatan ini juga lebih memungkinkan masyarakat ‘menumbuhkan’ pengetahuannya secara lebih kontekstual, dan bukan mencangkokkan pengetahuan yang tidak pernah dialaminya. Maka, upaya yang diarahkan untuk pembangunan tidak lepas dari peran budaya. Intervensi yang responsif terhadap konteks budaya dan kekhasan tempat dan komunitas, memajukan pendekatan yang berpusat pada manusia untuk pembangunan cenderung menghasilkan output yang berkelanjutan, inklusif dan adil.

Akan tetapi gerakan-gerakan sosial semacam ini menjadi suatu hal yang tak diinginkan dalam sudut pandang kelas pemodal yang menginginkan pembangunan dalam perspektif investasi, dimana di dalamnya aktifitas perekonomian terjadi melalui perputaran finansial oleh dan kepada kelas-kelas pemodal. Pemerintah bahkan mendukung pembangunan dengan pandangan ini melalui penyediaan perizinan pembebasan lahan dan izin mendirikan bangunan pada wilayah-wilayah tersebut. Kehendak pembangunan pemerintah yang berorientasi pada modernitas dengan pendekatan neoliberal, mengundang kritik dari berbagai kelompok : ekosentris, tradisionalis, naturalis serta primordial. Pasalnya, pendekatan tersebut dipandang memutus rantai ekosistem alam dan/ataupun sosial yang dapat menyebabkan ketidak-seimbangan ekologi serta memunculkan paranoiatentang bencana alam yang dalam kacamata kelompok ekosentrik hanyalah sebatas siklus alam, atau gerakan-gerakan sosial yang dipandang sebagai ‘hama-pembangunan’.

Peran Pemerintah sebagai pelaku utama dalam tata kelola pembangunan semakin dipertanyakan peranannya sejak pertengahan 2000-an. Beberapa organisasi sejak masa itu mulai menjauhi pemerintah dan membentuk Non-Governmental Organization (NGO), atau di Indonesia dikenal dengan sebutan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Sifat LSM yang tersebar mendukung kontekstualitas permasalahan sehingga dianggap mampu menyediakan solusi yang tepat bagi komunitas-komunitas lokal. Hal ini juga didukung dengan berbagai anggapan bahwa kebijakan Pemerintah seringkali bersikap terlalu ‘pengetahuan-meja’ yang menggeneralisir fenomena faktual sehingga tidak benar-benar menyentuh permasalahan sesungguhnya yang berada di lingkungan.

Peran LSM yang terpisah dari Pemerintah mampu mendorong tumbuhnya nilai-nilai baru dalam pembangunan modern. Meski LSM sendiri tidak memberikan jaminan proses pembangunan yang didampingi akan berhasil karena sifatnya yang sekedar fasilitator, tetapi kedekatannya dengan masyarakat terkait justru menjadi biastertentu dalam mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk memilih suatu formula pembangunan. Hal inilah yang pada masa berikutnya seringkali dimanfaatkan oleh para pendonor baik dalam skala lokal ataupun asing terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Para pendonor umumnya membawa agenda tersendiri baik dalam skala individu maupun kelembagaan yang berakibat pada ketergantungan dan bias pada program-program yang ditawarkan oleh LSM untuk menggiring perspektif masyarakat baik dalam posisi pro ataupun kontra. Sifat ketergantungannya ini menimbulkan ‘kemanjaan’ tersendiri, bahkan di beberapa daerah tertentu, para pendonor bahkan tak segan membentuk lembaga secara langsung dengan mewartakan dirinya, seperti Indonesia Future Leaders (IFL- 2009) yang berfokus pada pemberdayaan pemuda dan kerelawanan sosial melalui kepeduliannya pada lingkungan sekitar dengan mempromosikan MDGs dan tersebar di 7 kota besar di Indonesia, atau LSM bentukan masyarakat namun membawa slogan-slogan pendonor seperti Save Street Child (SSC) yang berfokus pada pendidikan anak-anak jalanan sehingga dengannya dapat memberikan pelayanan pendidikan formal yang mampu mempromosikan agenda pembangunan modern, atau Komunitasjendela yang memiliki tagline : “We aren’t just building library, we are building a future” – but what kind of future that we’ll build with the contents of the books provided?

Sayangnya, lembaga-lembaga swadaya lain yang tidak mengikuti agenda ini seringkali melakukan hal-hal ‘tradisional’ dengan meminta ‘sumbangan’ secara langsung dari Pemerintah atau masyarakat sehingga lembaga-lembaga jenis ini seringkali dianggap ‘preman’ atau ‘hama pembangunan-yang tak dapat dikendalikan’. Lembaga-lembaga jenis ini biasanya menggaungkan label dan dalil pembangunan dunia, namun menerapkan praktik-praktik ‘tradisional’ yang bahkan mungkinbertentangan dengan tradisi kebudayaan itu sendiri sehingga menjadi ‘hama’ baik dari sudut pandang pembangunan modern, atau juga pembangunan tradisional.

Pada kelembagaan yang mengikuti agenda pembangunan modern, aktifitas kelembagaan seringkali menarik perhatian para filantrophy seperti Blommberg Initiative, Bill and Meilinda Gates, dan lain sebagainya sebagai investor asing yang kemudian memberikan suntikan dana (donor) untuk mendukung program-program tersebut. Dalam tahap lebih lanjut, pendonor bahkan dapat turut mengambil keputusan sekaligus memberikan program yang bersifat ‘memaksa’. Kegiatan pendonoran ini dipandang sebagai sebuah instrument politik luar negeri terhadap suatu negara yang membawa dalil : untuk memajukan kepentingan ekonomi-politik negara ketiga. Dengan argument self-interest, tindakan membawa argumentasi etis bahwa negara-negara maju tidak boleh mendiamkan kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan sosial di negara-negara berkembang yang dilanda konflik, tertimpa bencana, dan wilayah pasca-perang (Vernon W. Ruttan. 1987). Namun keterjalinan kerjasama ini terjadi akibat terdapat kesamaan agenda strategis antara pihak pendonor dan pihak penerima bantuan sehingga dapat dilihat bahwa keberadaan dana bantuan ini merupakan instrumen pelaksanaan keadilan distributif secara global dan sarana pencapaian tujuan keadilan sosial secara domestik, sehingga untuk lembaga-lembaga yang memiliki visi tidak sama, maka bantuan tidak akan diberikan atau mungkin bahkan dimusnahkan.[1]

Istilah ‘dunia ketiga’ pada awalnya digunakan untuk menyebut negara-negara yang tidak bersekutu pada masa Perang Dunia II, yang pada umumnya saat itu merupakan wilayah-wilayah negara kolonialisme Eropa. Kolonialisme masyarakat Eropa pada masa tersebut menyebabkan negara-negara tersebut mengalami keterbelakangan. Hal ini mengakibatkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat pada masa-masa sekarang memiliki keterikatan dengan Monterey consensus yang mewajibkan pemerintah negara tersebut harusmengalokasikan dana sebesar 0,7% dari Gross Domestic Product untuk disumbangkan kepada negara-negara ketiga tersebut.

Pada masa ini (2018-2019), ketidakadilan durasi kerja di Indonesia merupakan budaya bagi generasi millennial yang menjadikan negara ini sebagai salah satu negara dengan iklim kerja paling buruk di seluruh dunia. International Trade Union Confederation (ITUC) bahkan menyebutkan bahwa budaya kerja di Indonesia tidak memenuhi hak pekerja mulai dari persoalan durasi kerja, pembayaran upah yang pantas, hingga penjaminan keamanan kerja bagi setiap buruhnya. Hal tersebut juga senada dengan catatan International Labour Organization yang menyebut bahwa pada tahun 2015 terdapat 26,3% pekerja buruh di Indonesia bekerja lebih dari 49 jam dalam sepekan, meskipun telah ada peraturan tertulis yang menetapkan durasi kerja maksimal 40 jam dalam sepekan oleh Kementrian Tenaga Kerja. Tragisnya kesadaran menuntut hak atas kegiatan eksploitatif ini justru minim pada pekerja generasi millennials yang bekerja di perkantoran, dibandingkan dengan pekerja buruh pabrik.

Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI), Ellena Ekarahendy menjelaskan pengamatannya terhadap kebudayaan kerja generasi millennialsdan menemukan ketidak-sadaran (aware) masyarakat pekerja terhadap aturan dan hukum dalam pekerjaan. Beberapa masyarakat generasi ini bahkan beranggapan bahwa bekerja dengan durasi lebih dari 8 jam sehari tanpa bayaran merupakan suatu hal yang wajar, sekaligus ‘konsekuensi’ dari sebuah pekerjaan di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogya, Bandung dan Surabaya. Hal ini dikerenakan minimnya distribusi informasi tentang peraturan dan hukum kerja, ditambah dengan budaya malas membaca pada generasi tersebut.

Lebih lanjut, wacana jam kerja millennials juga diperpanjang melalui trendfleksibilitas jam kerja yang marak di kantor-kantor bernuansa millennialsdan Industry 4.0. Dalam hal ini, budaya kerja menawarkan sebuah wacana ‘kerja-di-rumah’ yang mengaburkan batas jam kerja dari jam 8 hingga 17 sore. Akibatnya, jam kerja menjadi jauh lebih fleksibel : bekerja tanpa batas, tanpa perlu meninggalkan gawai dan membuang waktu yang habis dalam macet lalu lintas hanya untuk pergi ke kantor. Permasalahan ini semakin rumit ketika Kementrian Tenaga Kerja sendiri juga tidak mampu merespons fenomena tersebut. Meskipun penyusunan peraturan teknis agar pekerja tidak stress dan hak-haknya sebagai pekerja dapat dipenuhi, Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri meragukan seberapa perluuntuk mereformasi jam kerja yang diyakini menjadi sebuah sistem perbudakan baru tersebut.

Pun demikian, iklim bekerja yang eksploitatif tetap menjadi sebuah pilihan popular yang tumbuh subur dalam cara berkehidupan millennials. Pandangan ini diterima secara umum melalui budaya digital yang dimiliki generasi ini, sehingga membentuk peradaban melalui lalu lintas informasi dan pengetahuan secara cyber. Pada generasi ini, lalu lintas informasi dan pengetahuan didapatkan melalui media-media online secara mandiri : dan tanpa dampingan orang tua.

Meskipun, Keynes melalui esainya Economic Possibilities for Our Grandchildren(1930) meramalkan bahwa di abad ke-21 manusia cukup bekerja hanya 15 jam dalam seminggu, namun seorang inovator megalomania mempromosikan trend bekerja 80 jam dalam seminggu. Elon Musk, salah seorang pendiri beberapa perusahaan teknologi populer dan CEO SpaceX, merupakan sebuah contoh yang baik untuk memberikan gambaran bagaimana kelompok elite pembangunan berusaha memotivasi para pekerjanya sehingga mau bekerja keras. Melalui Twitter, salah satu peradaban cyber bagi millennials, Musk memuji pekerjanya dengan berkata “There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week.”. Ketika cuitan ini direspon dengan bertanya berapa jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan untuk mengubah dunia, Musk menjawab, “Varies per person, but about 80 sustained, peaking above 100 at times. Pain level increases exponentially above 80.” Lebih lanjut, Musk membuat preposisi secara terpisah, “if you love what you do, it (mostly) doesn’t feel like work.”


📷


📷


Sumber : Twitter.com

📷

Salah satu bentuk pemikiran manusia di Peradaban Cyber yang menampilkan gagasan ke-diriannya. Sumber : Instagram.com


Terdapat tendensi yang meyakini bahwa kerja dapat menciptakan aktualisasi diri yang paling paripurna ketika aspek religiusitas keagamaan mulai menurun. Konsep Produktivitas dalam kerja telah memasuki dimensi yang hampir spiritual. Dalam tradisi etis Protestan, fenomena ‘kerja’ bukanlah dipandang sebagai suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, melainkan pekerjaan itu sendiri adalah segala-galanya. Survey Jobvite (Job Seeker Nation) pada tahun 2019 menemukan bahwa 42% pekerja di Amerika Serikat mendefinisikan diri mereka dengan pekerjaan yang mereka lakukan dan/atau bersesuaian dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Jumlah itu telah naik menjadi 45% bagi millennials – yakni pekerja yang berusia di bawah umut 40 tahun.

Hal ini merupakan kemerosotoan nilai-nilai kemanusiaan kerena mengerdilkan multisiplitas dimensi yang dimiliki manusia menjadi sekedar dimensi kerja. Ini menjadi sebuah fenomena penting dalam perkembangan generasi tersebut, sebab kerja menjadi diasosiasikan sebagai satu kesatuan dari kehidupan spiritual. Dalam proses bekerja, generasi ini memperoleh inspirasi, pencapaian, makna, tujuan dan identitas ke-diri-an yang kemudian ditemukan dalam tradisi sehingga membentuk sebuah kepercayaan, sebelum kemudian dilakukan secara redundan, dilakukan semua orang, sehingga membentuk horizon berpikir yang menjadi sebuah gerak-budaya dan kepercayaan yang absolute.

Wacana peradaban dan dunia kerja cyber ini pada masa berikutnya juga melahirkan kelas sosial baru : kelas precariat (Standing, Guy : 2014). Dalam buku The Precariat : the New Dangerous Class, Standing menjelaskan bahwa precariat adalah seseorang yang menjadi ‘pekerja-rentan’ dengan jam kerja, jaminan kerja, kontrak kerja, lingkungan kerja, upah kerja, mekanisme kerja, atau sistem kerja yang tak menentu. Sebaliknya, meski sama-sama memerlukan peningkatan kualitas hidup, kelas sosial sebelumnya (proletary) lebih memiliki kejelasan kerja, hak pekerja, bahkan jaminan masa depan dalam bentuk investasi dan kesempatan memiliki tempat tinggal. Fenomena kelas sosial ini melekat pada generasi-generasi millennials dan pasca-millennials yang gagasannya diwarisi oleh generasi-generasi sebelumnya, dan tercermin dari nasib para pekerja kontrak (outsourcing), pekerja magang (intership), pekerja lepas (freelance), pekerja paruh waktu (part time) atau menjadi mitra kerja dari perusahaan lembaga masyarakat maupun pemerintah. Sistem kerja seperti ini memungkinkan kelas sosial tersebut untuk diberhentikan, atau bahkan disingkirkan dengan mudah atas nama kepentingan dan keuntungan yang ditopang oleh sistem Labour Market Fexibility (LMF) yang bertujuan mengalihkan resiko dan meminimalisir kerugian pemberi kerja dengan menjaminkannya kepada tenaga kerja.


GENERASI α – z : PULANG KEMANA?

Kerinduan tentang pulang merupakan kerinduan eksistensial yang melibatkan pengalaman-pengalaman ke-dirian manusia dalam menghadapi fenomena di sekitarnya. Meskipun pengalaman ini dibentuk dan terbentuk secara kolektif, namun melibatkan pengalaman emosi personal sehingga permasalahan ‘kesepian dalam keramaian’ menjadi permasalahan individu yang berada dalam jaringan individu kesepian lainnya. Pengalaman ini bersifat warisan yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya melalui wacana ‘saya lebih berpengalaman, ikuti kata saya.. atau ‘aku sudah tahu hal itu, ini cara yang benar’sehingga menjadi objek-objek pemikiran yang menginspirasi generasi-generasi berikutnya : baik untuk mematuhi atau membangkang.

Dalam kegiatan mengada dan berada, generasi ini mengalami keterjebakan yang muncul dari kepercayaan tentang hidup yang terbentuk melalui horizon berpikir sosialnya. Wacana kota yang ‘baik’ memberikan jaminan pekerjaan yang ‘baik’ menjadi pedoman bagi individu-individu generasi ini untuk berangkat ke kota-kota besar dan menjemput eksploitasi untuk dirinya. Sayangnya, perpindahan individu ke kota besar ini tidak hanya berdampak pada peningkatan perekonomiannya saja, melainkan juga pada peningkatan taraf gaya hidup serta kecenderungan dalam memilih sesuatu : mengumpulkan uang hanya untuk berlibur akibat tekanan dari iklim pekerjaan, kecenderungan berpakaian hingga lupa menentukan target pengamat pakaiannya, atau seperti benda-benda pendukung lain pada dirinya untuk terlibat dalam peradaban cyberyang menyatakan dirinya sebagaimana ia inginkan. Kesemuaan itu hadir dan menjadi pilihan impulsif diantara tumpukan pilihan : wacana-wacana yang dihadirkan oleh kelompok yang telah mapan dalam eksistensi sosialnya ; generasi sebelumnya.

Sayangnya, meski benda-benda penghantar informasi terhadap dunia telah digenggamnya, namun tak banyak dari generasi ini yang dapat melakukan manajemen diri seperti pengelolaan asset, pengelolaan emosi dan psikis, atau bahkan menempatkan waktu-waktu sakral dalam hidupnya. Hal ini terlihat dari bagaimana generasi ini tidak dapat menghargai waktu untuk hidupnya sendiri dalam menghindari eksploitasi jam kerja, atau investasi terhadap hunian yang dapat menjaminkan lokasi tinggalnya di masa depan ketika harga-harga komoditas seperti hasil perkebunan, bahan dapur, bahan bakar minyak, dan lahan yang naik tentu akan mempengaruhi kenaikan harga sewa kamar kosnya. Pertumbuhan pembangunan yang tidak disertai kemapanan mentalitas individunya tentu akan mempengaruhi perkembangan peradaban itu sendiri dalam skema waris dan lintas generasi.

Dalam fungsi biologis tubuh manusia, manusia memiliki sistem metabolisme yang dihasilkan oleh salutogenese yang terdapat pada setiap entitas. Unsur ini, dalam contoh konkritnya dapat dilihat dari rangsangan sel imun tubuh dalam membentuk jaringan penutup luka melalui sel darah putih dan koreng ketika menderita luka sehingga kemudian menjadi pulih kembali. Skema ini merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam memahami wacana perekonomian generasi tersebut sebagai dasar analogis. Salutogenese berasal dari dua kata dasar ; salusyang berarti sehat, dan genesis yang berarti asal mula – genetic. Dalam hal ini, wacana ‘pulang’ menyentuh ke pembahasan penyembuhan mental dan psikis individu pelaku pembangunan. Pulang bukan lagi sekedar lokasi tujuan setelah melakukan aktifitas seharian, melainkan menjadi sebuah kegiatan yang dengannya dapat memulihkan mental individu dengan melepaskan stressaktifitas, dengan menjadi ‘dirinya’ sendiri, sebagaimana dirinya terpental ke dunia. Pulang ke ruang dimana ia menjadi cukup sebagai dan dengan dirinya.

Diskursus eksistensialis tentang ke-dirian manusia telah lama bergumam diantara jajaran filsuf-filsuf Eropa sejak masa awal tradisi sains. Namun memahami kedirian, bukan sebatas memahami konsep-konsep fisik manusia, melainkan memahami kehadiran dalam keterlibatannya terhadap ruang baik kultural, tradisi, ekosistem atau sosiosistem dimana ia berada, yang dengannya ia mengaktualisasikan diri dan menyatakan kemapanan dirinya.

Lalu-lintas pemikiran dan fenomena dalam peradaban manusia ini merangsang pertumbuhan arsitektur sebagai manifestasi dunia manusia, yang menampilkan identitas dirinya : kehendak, pengamatan lingkungan, serta keyakinan terhadap sumber pengetahuan untuk mencapai ke-diriannya yang otentik. Seorang filsuf termahsyur Yunani pada masa awal, Aristoteles, memberikan sumbangan penting dan selalu relevan untuk pembentukan eksistensialisme dalam arsitektur pada masa-masa berikutnya. Salah satu sumbangan terpentingnya adalah pengertian tentang enteleki (entelechia) yang dijelaskan sebagai kekuatan dari dalam pada segala sesuatu yang telah utuh dan teratur, yang bagaikan benih menuju kedewasaannya dengan atau tanpa campur tangan luar, yang meraih kepada pemenuhan tujuan dirinya. Enteleki merupakan energi potensial pada setiap hal, untuk menjadi sesuatu melampaui dirinya, namun sekaligus menunjukkan keterbatasan dirinya. Ibarat sebuah pohon, bagaimanapun kemampuan dan pengetahuan manusia untuk melakukan intervensi, manusia takkan pernah mampu mengubah pohon Kelapa menjadi pohon Ketapang. Atau pohon Kaktus menjadi pohon Durian. Masing-masing pohon ini memiliki suatu energi-potensial dalam dirinya, yang menyebabkan durian tetaplah durian, atau Ketapang tetaplah Ketapang, yang melebihi sebatas citra dan guna, sebagai sebuah das ding an sich.

Perjalanan mencapai enteleki individu ini dapat diterangkan secara analogis, ‘memakan apa yang dahulu dimakan oleh leluhur (genetic)’. Hal ini berarti manusia tersebut mengkonsumsi objek-objek yang menyusun rangkaian genetiknya, sehingga memudahkan tubuh meng-codingulang susunan DNA tubuhnya dan meregenerasi diri kembali sebagaimana ia dilahirkan. Konsep ini mengkehendaki manusia mendekati konsep fitrahobjek yang dilahirkan, kembali menyerupai dirinya sebagaimana objek tersebut baru muncul. Dalam hal ini, kondisi ketika objek baru lahir dipandang sebagai kondisi ‘nol’ kesehatan sehingga dengannya kembali mencapai kondisi potensial. Maka, secara analogis hal ini berarti menjangkau kembali sumber sejarah genetik terdekat : orang tua/wali dan tinggal bersama. Kembali ke konsep bangunan komunal-komunitas tradisional, dan dari situ akan berkembang konsep-konsep rancangan arsitektur yang memenuhi kebutuhan hal tersebut dengan konsekuensi : Mempertemukan ke-ber-pengalaman sang orang tua dengan realitas yang dihadapi anaknya, untuk melihat masihkah relevan pengalaman sang orang tua, dengan alam yang dihadapi serta melihat kembali, sudah selaras (sesuai benang-merah) kah pertumbuhan dan pandangan generasi muda terhadap konteks lingkungan alamnya.

Gagasan Gautama (623 – 543 SM) yang menyatakan bahwa sosok ibu adalah kuil rahim merupakan point penting yang harus diperhatikan. Hal ini dapat membangun primordialitas individunya yang dengannya dapat menemukan construct ke-diriannya baik secara kultur dan waris sehingga meningkatkan kemapanan mental individunya. Akan tetapi, sosok ‘ibu’ dalam hal in tidak dapat dipandang sebatas fungsi biologis belaka, melainkan sosok yang memenuhi aspek-aspek psikis dan spiritual – sebab konteks ibu disini berarti kembali ke Rahim : wadah air tuban sebelum dilahirkan. Kedekatan individu dengan ibu ini dapat dipahami sebagai kedekatan subjek tersebut dengan sumber emosinya, yang dengannya dapat menyaksikan secara utuh pertanyaan dirinya : tentang keterpentalan dirinya ke dunia. Maka itu, pembangunan ‘kedalam’ yang beorientasi sejarah dan kedekatan spiritualitas perlu ditingkatkan.

Dalam mewujudkan pembangunan dengan orientasi ini, paradigma tentang kesuksesan (pencapaian) dalam kerja dan hasrat dalam pendidikan perlu didekonstruksi terlebih dulu. Pasalnya, kedua premis ini memiliki kesalinghubungan sebab-akibat yang jika dilakukan secara serempak akan membentuk wujud pembangunan manusia. Pertanyaan terdidik untuk mencapai apa dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diulas kembali bagi setiap pendidik dalam mempersiapkan partisipan pembangunan di dunia manusia.

Pembangunan berorientasi primordial menjadi kunci penting dalam menjawab permasalahan peledakkan jumlah penduduk pada kota-kota besar, yang menyebabkan semakin tingginya permintaan akan hunian. Dalil Gautama tentang ‘kembali pada ibu’ atau dalil Mohammad SAW yang menyebut 3x nama ‘Ibu’ sebagai ‘pintu sorga’ seorang anak merupakan konsep kunci yang perlu dipahami lebih lanjut. Sebab meski demikian, Gautama dan Mohammad SAW, baik keduanya tidak pernah memperlihatkan tindakan ‘kembali ke rumah Ibu’, baik kandung atau ibu persusuan dalam catatan sejarahnya. Konsep ‘kembali pada Ibu’ dalam wacana ini kemudian dipahami sebagai tindakan memahami wacana pembangunan leluhur serta struktur ekologi dimana pembangunan itu berada, sehingga dengannya pembangunan dunia manusia dapat berseimbangan dengan ekosistem yang ada. Keselarasan antara keduanya menjadi indikator penting dalam menahan sekaligus mendorong suatu pembangunan ; baik mencegah keserakahan (bencana sebagai dampak eksploitasi kepada alam), atau mendorong kemalasan dalam pertumbuhan (siklus alam seperti banjir di tanah rawa untuk memancing pembangunan rumah-rumah vertikal, atau erupsi Merapi untuk memacu pembangunan perkebunan untuk memiliki tenggat waktu).

Dalam ritme pembangunan perkotaan, penyebaran pertumbuhan juga sebaiknya diperhatikan, dengan tidak menumpuk kehendak perekonomian secara sentralistik atau terpusat pada kota-kota tertentu. Dalam hal ini, pembangunan indigenousperlu juga diperhatikan, dengan kembali ke rumah ibu dalam bentuk fisik. Tujuannya : untuk mempertemukan dua wacana generasi, disana dua konteks waktu tentang pengalaman perlu bertemu dan dipertentangkan[2] : Boomersdengan segala ‘asam-garam’nya, Millennials dan segala pencapaian serta cita-citanya. Sehingga dengannya menyediakan ruang khusus bagi generasi-generasi berikutnya dalam melihat bagaimana wacana tersebut menumpuk. Dalam konteks ini, kondisi manusia yang terlibat tidak hanya akan terkoneksi sebatas tubuh fisik saja melainkan juga pikiran, perasaan dan jiwa sehingga memberinya kesempatan untuk merangkum wacana tersebut dalam sebuah sintesa yang kemudian mewujudkannya dalam bentuk-bentuk arsitektur, sebagai pengejawantahan peradaban manusia.


PERJALANAN ARSITEKTUR, PERJALANAN MANUSIA MENCAPAI KOSMIK TERTINGGINYA.

Jiwa dalam bentuk-bentuk arsitektur tidak hanya memperlihatkan kejiwaan manusianya melainkan juga menampilkan kejiwaan lingkungan alamnya ; kelembaban, terik matahari, curah hujan, dan banyak lainnya. Seberapapun manusia berpikir terpisah dengan lingkungan alam ketika merancang gedung hunian, namun gejala-gejala alam tetap akan turut mempengaruhi wujud arsitektur melalui proses waktu.

Perkembangan arsitektur di masa kuno sendiri telah mencapai puncaknya yang terlihat pada gaya dan penerapan bangunan arsitektur tradisional-kuno dan telah menjadi lebih dari sebatas tempat bernaung : bangunan arsitektur digunakan sebagai ruang penghayatan spiritual. Penggunaan arsitektur Jawa misalnya, yang didedikasikan untuk pemujaan Dewi-Sri dengan konsepsi Sang-Tani dan petani (‘p’ kecil). Atau pemikiran-pemikiran arsitektur India yang menerapkan pemikiran Vasthu Purusha Mandala, sebagai energi kosmik rendah dari bawah bumi yang menarik manusia agar tetap berpijak di tanah. Pada arsitektur Yunani kuno, pemikiran ini diejawantahkan melalui kemunculan bentuk-bentuk geometrik dari getaran suara, serta perhitungan yang sangat matematis (Melchizedek, Drunvalo. 1990) dan menampilkan citra dewa-dewi Olympus pada ornamen-ornamennya sebagai wujud kompleksitas penghayatan terhadap Semesta dan Khayangan Raya.

Pada analogi pembentukkan hutan, peradaban (pembentukan hutan pada fase kedua) melihat bahwa arsitektur tidak lagi digunakan sebatas tempat bernaung, atau sekedar tempat tinggal untuk menaruh barang dan menyembunyikan identitas diri yang diyakini adalah sebenarnya seperti pada hutan fase kedua. Pada fase ini arsitektur digunakan untuk menyimpan sekaligus untuk memberikan pengetahuan kepada manusia. Sebut saja rumah Lamin bangsa kebudayaan Dayak yang menyimpan setiap informasi kebudayaannya pada ornamen-ornamen rumahnya – butuh lebih dari sekedar arkeolog handal untuk memahami apa yang mereka tulis pada ornamen rumahnya : memahaminya butuh untuk ‘mendengarkan’ ritme dan detak jantung hutan dimana rumah itu berada dan berlokasi pindah.

Akan tetapi sejak masa globalisasi modern, perkembangan pemikiran yang diejawantahkan melalui kegiatan arsitektur kembali memasuki fase awal dalam analogi pertumbuhan hutan. Di Indonesia sendiri ditunjukkan pada kemunculan gedung-gedung intramurros, gedung bangunan yang menggabungkan pemikiran rasional Eropa dengan intuisi ekologi kelompok tradisional. Namun sejak masa pasca-kemerdekaan, pertumbuhan arsitektur menunjukkan gejala penyimpangan yang memperlihatkan keterpisahan pemikiran manusia dengan konteks lingkungan alam. Hal ini menyebabkan arsitektur kembali dipandang sebagai sebatas tempat berlindung (pemikiran Eropa yang muncul dari respon manusia Eropa terhadap lingkungan alamnya), dan bahkan bukan lagi sekedar tempat bernaung (pemikiran Timur yang muncul dari respon manusia Timur terhadap lingkungan alamnya). Pada tahun-tahun ini pembangunan dengan orientasi neo-liberal yang membawa free-trade juga berkembang sehingga dengannya mempengaruhi bentuk arsitektur sekaligus aktifitas manusia yang menggunakan arsitektur. Sesuatu telah tumbuh dalam sebuah batang pohon Jati, yang beraktifitas dengan membayangkan dirinya berada dalam sebuah pohon Oak. Akibatnya, cita-cita pohon Oak-lah yang dipraktikkan pada tiap-tiap serat pada pohon Jati.

Di Indonesia sendiri, pertumbuhan pembangunan arsitektur dapat dianalogikan dengan metafora pohon Kamboja. Di wilayah ini, pohon Kamboja bukanlah tanaman jenis native species, dan tidak berhubungan sama sekali dengan negara Cambodia. Hal ini beranalog dengan pola kerja dan kehidupan generasi millennial, z hingga α yang terlepas dari ekosistem lingkungannya, namun tetap dapat beradaptasi dengan konteks lingkungan sehingga membentuk struktur realm yang baru. Dalam hal ini, struktur lingkungan dipandang sebagai sesuatu yang ‘terbentuk dan membentuk’, segala yang ditanam dipengaruhi sekaligus mempengaruhi konstelasi objek-objek ekosistem lain disekitarnya.


📷


Meskipun arsitektur merupakan sebuah teknologi yang membantu manusia dalam mencapai cita-citanya, namun keterpisahan manusia dalam memahami alamnya ini menyebabkan munculnya pandangan tentang kebencanaan : yang pada dasarnya hanyalah aktifitas alami oleh wilayah bumi dimana ia berada. Peribahasa dimana Bumi dipijak, disitu Langit dijunjung menjadi kata kunci penting, sebab Langit merupakan analogi dari ‘sumber-pengetahuan’ yang mempengaruhi proses fotosintesis pada daun tumbuhan, dimana daun merupakan analogi dari arsitektur yang memperlihatkan kondisi dunia manusia. Objek-objek Langit pada setiap kebudayaan selalu dipandang sebagai objek maskulin yang memberi, yang aktif, sehingga seringkali objek-objeknya menjadi sesembahan : matahari, langit, bintang, atau bahkan penggambaran antropomorfismetentang dewa-dewi, atau bahkan tuhan, yang duduk bersemayam di Langit, yang memberi rahmat dan cinta kasih dibalik kelamnya malam. Namun, dekonstruksi tentang wacana ‘Langit’ perlu kembali diselami, untuk memahami matahari macam apa yang menyinari hutan manusia ini, yang menjadi sumber dan menjadi kiblat bagi pertumbuhan peradaban dunia manusia. Langit jenis apa yang menyebabkan manusia Kalimantan, yang hidup di bumi Kalimantan yang berawa, berpikir bahwa banjir adalah sebuah bencana yang harus dikendalikan? Atau Langit macam apa yang menyebabkan manusia-manusia Jawa memandang aktifitas erupsi gunung berapi dan gempa bumi, tidak lagi sebagai sebuah scretching alam sehingga menghambat pertumbuhan perekonomian dan merusak tanaman-tanaman di pekarangan?

Terdapat dua terminologi penting untuk memahami skema pembentukan hutan : perbedaan diksi antara tanaman dan tumbuhan. Meskipun keduanya sama-sama memiliki fungsi ekosistem, namun keduanya dibedakan oleh intervensi manusia yang dipengaruhi oleh kehendak. Kehendak manusia ini menyebabkan perbedaan fungsi ekosistem antara keduanya, serta memengaruhi pembentukkan wajah peradaban manusia. Tanaman yang terbaik adalah tanaman yang paling mendekati konsep tumbuhan, yang ‘tumbuh’ secara alami, dan yang ‘jumbuh’ yang mengantarkan hingga ke pertibaan (titik akhir tujuan). Maka mengacu pada konteks ini, arsitektur yang baik adalah yang membawa manusia kepada titik akhir tujuan hidupnya, bukan sebatas titik-titik persimpangan dalam kehidupan : mencapai sebuah pulang (mulih [pulih] – Jawa, bulik [balik-kembali]- Melayu), ke tempat dimana manusia mencapai kesaling-hubungannya sebagai makhluk eksistensial. Sebagai yang memahami dan difahami, sebagai yang mengerti dan dimengerti. Yang tidak menyalah-fahami dan tidak disalah-fahami. Sebagai yang berbicara dan dibicarakan. Sebagai yang melukiskan dan dilukiskan. Sebagai yang memakan dan dimakan. Yang mendorong dan didorong. Menyuburkan dan disuburkan.

Gagasan tentang pulang merupakan gagasan akhir ke-dirian manusia dalam keterlibatannya pada arsitektur. Bangunan-bangunan arsitektur menjembatani manusia antara yang dalam dengan yang luar, antara bawah dan atas, antara dirinya dengan yang liyan. Namun perdebatan tentang ‘pulang kemana?’ hingga hari ini masih menjadi perdebatan panjang antara kelompok pemikir (yang mengamati dan merenungi) dengan kelompok fuqaha yang patuh, yang menyederhanakan kepulangan hanya kepada Tuhan semesta Alam tanpa menjelaskan proses dan konsekuensi perbuatannya secara nyata. Akibatnya, gagasan tentang pulang menjadi sebatas ilusi yang tak pernah terjangkaunya melalui media arsitektur yang menutupi kegiatan-kegiatan eksploitatif pada generasi tersebut sehingga menimbulkan kelompok kelas sosial baru : kelas precariat yang dengan suka melemparkan diri kedalam sistem eskploitatif, mampu membela orang lain namun tidak mampu membela diri sendiri, serta kehilangan kesadaran dalam membela dirinya sendiri.

Layaknya sebuah peribahasa, semut diujung pulau nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Pelaku-pelaku pembangunan ini dapat melihat dengan jelas setiap kehendak dan cita-cita yang dengannya menjadi kekuatan bagi mental dan jiwanya dalam menghadapi setiap rintangan untuk mencapai kesuksesannya. Namun bersamaan, ia tak lagi melihat wajah ‘ibunya’ yang terinjak-injak oleh langkah kakinya sendiri. Konsekuensinya adalah pernyataan kesepian : sebuah kondisi dimana keterpentalan individu di tengah-tengah keramaian – menjadi sekumpulan orang kesepian.

Eksistensi manusia untuk ber-ada dan meng-ada muncul dari titik tengah antara gagasan yang ia pikirkan, perasaan yang dirasakan dan dengan tindakan yang dilakukan. Eksistensi ke-dirian ini tak dapat dilihat satu dengan yang lain secara terpisah, sehingga dengannya ia menyatakan keterlibatannya dalam dunia sekitar. Dalam wujud arsitektur, hal ini terlihat dari wujud arsitektur yang telah mewaktu : sebuah bangunan yang telah mendapatkan nilai-nilai dirinya melalui elemen-elemen tambahan yang membentuknya sehingga menyatakan hubungan antara manusia dengan gedung yang ditempatinya. Dalam konteks yang lebih sempit, dunia manusia melalui gedung arsitektur ingin dipahami oleh lingkungan alam namun tidak mencoba memahami lingkungannya : tinggi rumah berlomba dengan tinggi jalanan untuk menghindari banjir, Gedung bertingkat mencoba menjangkau langit biru di tanah bergempa, bangunan-bangunan kaca menyembunyikan pendingin ruangan di lingkungan dengan terik matahari yang tinggi, rumah sebagai tempat melindungi kelelahan setelah lelah bekerja yang dengannya dapat melindungi anaknya dari bahaya lalu lintas kendaraan, dan melindungi harta-hartanya dari perampokan.

Pulanglah ke tempat dimana ia merasa cukup dengan dan sebagai dirinya sendiri.



  1. [1] Sebagai contoh ekstreme pada bahasan ini adalah melayang tudingan eksploitasi anak melalui ajang penelusuran bibit muda yang dilakukan oleh PB Djarum. Tudingan ini dilakukan oleh Yayasan Lentera Anak dan KPAI yang memiliki dana bantuan dari Bloomberg Initiative. Bloomberg yang memiliki agenda kesehatan global, tentu berseberangan dengan PT.Djarum yang memiliki produk rokok yang disebut-sebut oleh WHO sebagai salah satu ‘cara menjemput kematian’. Akibatnya, apapun tindakan PT.Djarum, tentu akan berseberangan dengan pihak Yayasan Lentera Anak dan KPAI sebab memiliki dasar paradigma yang berbeda. [2] Pada kebudayaan-kebudayaan tradisional, rumah hunian seringkali digunakan secara komunal dan lintas generasi. Di dalamnya terjadi pertukaran pemikiran dan kehendak yang dengannya mempengaruhi bentuk-bentuk Gedung arsitektur : baik dari kebutuhan lahan, jumlah kamar, hingga ornament-ornamen yang diukir untuk membekukan ‘hasil’ dari pertukaran pemikiran tersebut. Hal ini perlu dipahami dalam bentuknya yang tidak baku, namun memahami nilai-nilai tersebut untuk diterapkan dalam praktik-praktik kehidupan modern. Ornamen bisa saja berupa coretan-coretan anak kecil yang sangat emosional pada dinding rumah, atau struktur panggung yang menggunakan beton/baja. Point paling penting dalam hal ini adalah aktifitas yang dilakukan oleh generasi-generasi tersebut dalam menyambut sekaligus merespon wacana Pembangunan.

1 view0 comments

Comments

Couldn’t Load Comments
It looks like there was a technical problem. Try reconnecting or refreshing the page.
bottom of page