top of page
Search
  • Writer's picturePrau

WACANA KELUCUAN PADA TAYANGAN MEDIA MASSA (TV)

FENOMENA KELUCUAN : IRONI YANG DIHAYATI

Gagasan tentang sebuah kelucuan merupakan sebuah fenomena lumrah yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia. Meksipun terlihat sederhana, kelucuan merupakan suatu kejadian alami yang ditemui baik tanpa sengaja maupun teragenda yang dapat mengubah konstruksi berfikir seseorang melalui selera mentalnya baik secara personal ataupun massal. Diskursus tentang kelucuan menjadi pembahasan menarik dalam diskusi Eksistensialisme kerena menampilkan keseluruhan kondisi umat manusia dari personal hingga kesalinghubungannya. Lebih dari itu, perenungan tentang kelucuan bahkan juga mencapai titik spiritualnya yang menghubungkan konteks spesifik ini dengan aspek kehidupan yang lebih besar lainnya. Seperti ucapan Mark Twain (nama pena dari Samuel Langhorne Clemens, novelis Amerika) bahwa sumber tersembunyi dari kelucuan (humor) bukanlah pada kesenangan melainkan pada kesedihannya yang implisit. Ketika semua orang sudah merasa bahagia, kelucuan tidak akan menempati posisinya seperti sekarang. Kerenanya, seharusnya tidak ada humor di Surga. Dua teori besar Scopenhauer tentang kelucuan membahas ketidakmampuan nalar manusia menangkap dunia pengalaman dan ketidakotentikannya dalam bertindak terhadap pengalamannya. Sedikit berbeda, Kierkegaard melihat kelucuan sebagai kesenangan yang bersinggungan dengan ironi, dan sebagai komunikasi tak langsung yang diungkapkan melalui persona. Penelitian psikologi modernpun melihat kelucuan sebagai indikasi kemampuan seseorang dalam kemampuan bersosialisasi, yang sekaligus juga menceritakan banyak tentang kedirian pencetusnya sehingga membentuk anggapan pada aktor-aktor yang terlibat dalam aktifitas kelucuan tersebut. Kelucuan merupakan asupan mental sekaligus konstruksi selera terhadap jaringan personal dan menghasilkan tawa yang ditularkan melalui mirroring psikis. Seseorang bahkan bisa saja merasa malu ketika tidak memahami titik kelucuan pada suatu hal saat orang-orang disekitarnya tertawa. Akibatnya, kelucuan menjadi salah satu social-tools yang sangat penting untuk menyebarkan sebuah gagasan dan anggapan terhadap sesuatu. Dalam kegiatan kebudayaan sendiri, kelucuan sering hadir sebagai ornament dalam sebuah pertunjukkan yang digunakan untuk mempercair suatu tujuan pokok : yang biasanya adalah nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Metode kelucuan yang lebih cair menjadikannya asupan mental yang lebih disukai dan diterima secara massal. Dengan kelucuan, suatu nilai dapat diinklusifkan dan diterima oleh khalayak. Tidak hanya berbicara gimmick, kelucuan dalam konteks ini dirancang untuk menegaskan poin-poin penting pada suatu nilai serta menegasikan cara pandang massal terhadap sesuatu dengan cara yang lebih mudah. Dalam hal ini, kelucuan digunakan sebagai praktik politis yang lebih lentur.

KELUCUAN PADA INDONESIA MODERN : WACANA YANG BERKEMBANG PADA LAPIS MASSA

Praktik pelenturan politik melalui kelucuan seperti ini tidak berhenti pada epos kebudayaan saja, tetapi juga pada pandangan modern. Fokusnya adalah penyebaran gagasan tanpa bantahan : menyebarkan gagasan melalui anggapan orang kebanyakan secara satu arah. Sebab seperti halnya praktik kebudayaan, gagasan modernisme juga melibatkan massa dalam praktiknya sebagai jejaring aktor yang membenarkan nilai-nilai dengan melaksanakan agendanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan tentang media massa sebagai alat untuk menyebarkan gagasan sebab, media massa tidak hanya berbicara tentang warta berita Pembangunan belaka melainkan juga sebagai hiburan yang didengarkan ketika bersantai hingga tertidur, atau dibaca secara serius dengan hasrat menambah wawasan, atau sekedar dongeng yang membentuk fikiran anak usia dini. Dalam perkembangan media massa, Industri perfilman sebagai salah satu produk modernisme tidak hanya berbicara terkait komoditas visual tetapi juga gagasan tentang Pembangunan melalui visualisasi ide-ide tentang kehidupan yang ‘baik’. Baudrillard (183 : 25) menegaskan bahwa media visual menjadi perpanjangan imajinasi penontonnya yang dapat mengkonstruksi sekaligus menggiring selera berfikir secara massal. Energi massa dapat diatur dengan cara menanamkan informasi yang dibentuk melalui sarana penanaman informasi dan pesan-pesan untuk mematuhi sebuah agenda Pembangunan. Dalam hal ini, memahami agenda secara keseluruhan menjadi poin penting untuk menangkap grand-design yang diselimuti ornamen-ornamen ‘kelucuan’ yang disajikan media. Meskipun ornamen-ornamen ini dilakukan secara mandiri dan terpisah, namun konten-konten kelucuan dalam tayangan memiliki spirit dasar yang sama yang menggiring selera secara kolektif pada sebuah tujuan. Tentu bukan hal yang bijaksana untuk mengatakan epos Pembangunan dilakukan secara massif dari setiap lini tanpa memahami siapa pencetusnya. Namun, menguak pencetus narasi Pembangunan, sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami : bersembunyi dalam keramaian namun tetap dengan ciri-ciri dirinya yang kecil, mudah berkarat, licin, keras dan tajam. Dalam pembahasan ini, pemilik agenda adalah penggagas ide yang memberikan dana sponsor kepada suatu tayangan dan dibenarkan oleh lembaga yang mensortir kelayakan tayang suatu sajian film tersebut. Seperti misalnya film Tiga Dara (distradarai oleh Usmar Ismail, 1956) yang diproduksi menggunakan dana pemerintah serta ditulis dalam upaya membangkitkan Perfini (Perusahaan Film Nasional) dari keterpurukan. Film Tiga Dara ditujukan untuk pertunjukkan komersial meskipun Ismail tidak setuju dengan karya-karya semacam itu. Setelah dirilis pada bulan Agustus 1957, film Tiga Dara mencapai puncak ketenaran yang meluncurkan karier-karier para bintangnya, terdaftar dalam box-office tertinggi dari film Perfini manapun, dan ditayangkan di bioskop-bioskop kelas satu. Namun, meskipun Film Tiga Dara ditampilkan di Festival Film Venesia 1959 dan meraih Tata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia 1960, Ismail menganggap karya tersebut melenceng dari visi awal Perfini dan jelas mensegmentasi penontonnya. Bahkan, salah satu sejawat Ismail, salah satu sutradara Perfini D. Djajakusuma mengatakan bahwa Usmar (Ismail) sangat malu dengan film itu. Niatnya menjual Tiga Dara ketika masih dalam tahap pembuatan film memperlihatkan betapa beratnya bagi dia menerima kenyataan harus membuat film seperti itu. … meskipun uang masuk, Perfini toh tidak lagi membikin film-film seperti yang dicita-citakan Usmar semula— D. Djajakusuma, (Said 1982, hlm. 57). Fakta bahwa Usmar akhirnya tetap melakukan proyek Film Tiga Dara yang dibiayai oleh Negara tentu menunjukkan keterlibatan peran seni dalam Pembangunan yang dihela oleh Negara dalam Industri Perfilman yang memiliki agenda memaksa. Hal ini ditunjukkan oleh penolakan dan rasa berat hati Ismail dalam melaksanakan proyek tersebut seperti tidak memiliki pilihan lain. Namun kritik terhadap Industri film tetap diluncurkan : menyatakan bahwa film komedi di Indonesia terletak pada skenario yang buruk dan tak lebih dari sekedar hiburan semata. Suwardi (2006 : 14) berpendapat bahwa skenario sangat menentukan kualitas film yang diproduksi. Jika digarap oleh sutradara berbakat, berwawasan luas dan berpengalaman akan menghasilkan film komedi yang bermutu dan mampu mengajak penontonnya untuk berfikir kritis. Senada dengan pernyataan tersebut, sastrawan WS Rendra menyebutkan bahwa unsur terpenting pada komedi bukan pada lawakan kosongnya : narasi komedi harus mampu mengajak para penonton untuk berfikir secara mendalam pada kehidupan sehari-harinya. Kritik-kritik seperti ini ditujukan kepada film komedi yang diproduksi sejak era 1950-an hingga 1990-an yang sekedar mempertontonkan tindakan bodoh, vulgar dan penghinaan pada subjek tertentu. Namun melihat secara lebih luas, karakter-karakter yang membawa ide kelucuan dalam media massa ini memiliki kesamaan dengan tokoh-tokoh lain dalam wacana global, baik dari segi cerita bahkan penggambaran tokoh. Di Indonesia, kita bisa melihat karakter Jojon (Djuhri Masdjan) yang gagap dan lugu dengan kumis khas Charlie Chaplin, atau mungkin Hitler. Atau penggambaran tokoh waria sebagai sosok inferior dalam film-film komedi 80’an Warkop DKI dan Catatan si Boy (Emon yang diperankan oleh Didi Petet), memiliki persamaan dengan peran yang dimainkan oleh Dustin Hoffman dalam Tootsie dan Robin Williams dalam Mrs. Doubtfire. Pada masa-masa berikutnya, tokoh-tokoh waria seperti Tessy, Aming, Olga Syahputra justru hanya menjadi objek intimadasi yang dapat diperlakukan dan diberikan pakaian sesuka hati. Tahun-tahun 1990-an, tayangan komedi menjadi sarana untuk menyebarkan gagasan Jawa-sentrik melalui hadirnya Ketoprak Humor (RCTI) dengan nuansa abuse dan stupidity namun masih memiliki nilai-nilai dan kharismatik budaya Jawa. Lakon-lakon pewayangan digunakan sebagai metode bercerita, dengan atau tanpa mengikuti naskah kitab kuna sehingga narasi lakon digunakan untuk membenarkan agenda rezim yang ada melalui kontekstualitas yang memaksa. Memasuki masa 2000-an, tayangan tentang kelucuan memiliki lebih banyak lagi segmentasi dan genrenya. Hal ini terjadi akibat masa awalnya perkenalan antarsuku bangsa di Indonesia yang masih bersifat fisik secara sempit dan dangkal (rupa, warna, gaya dan raga) yang menjadi komoditas dalam pertunjukkan hiburan. Tayangan-tayangan ini menawarkan tentang kelucuan sebagai pertunjukkan sensualitas, waria dan physical abuse atau slapstick yang menjadi salah satu bentuk baru untuk menghibur penonton. Komedi jenis ini menjadi trend di berbagai stasiun Televisi pada masa itu dan diraksasai oleh OVJ (Trans7), Extravaganza (TransTV), dan lain sebagainya. Pada masa berikutnya gerakan Stand Up Comedy mulai popular di kalangan masyarakat Indonesia. Gerakan ini menampilkan kegiatan seseorang yang berdiri dan memberi ceramah secara kritis namun dengan usaha menampilkan unsur-unsur kelucuan. Akan tetapi pada masa awal konten seperti ini belum mendapat posisinya di masyarakat sebab selera massa masih berputar pada masalah selangkangan, intimidasi waria serta slapstick dan menyebabkan banyaknya komikus (pelaku stand-up comedy) melakukan pencarian popularitas ke konteks lain : film-film komedi layar lebar. Baru tahun-tahun belakangan ini stand-up comedy mendapat tempat di selera massal, setelah munculnya trend mental-illness dan kritik sosial melalui dark-jokesnya. Sepanjang sejarahnya sendiri, kelucuan dalam pertunjukkan digunakan sebagai kritik para seniman terhadap fenomena baik politik ataupun sosial. Namun aktifitas ini hanya dapat difahami oleh sebagian orang tertentu dan seringkali menciptakan eksklusifitas sosial bagi yang dapat memahami lelucon tersebut. Akibatnya terjadi keterpisahan dimensi sosial dan pengkotak-kotakan sikap bermasyarakat sehingga seringkali menghambat tercapainya cita-cita kebangsaan ataupun kebudayaan. Media massa-lah yang berperan untuk menginklusifkan cita-cita ini melalui peran kelucuan dengan membentuk skenario pemikiran dan mental masyarakat. Namun masalahnya bukanlah pada praktik kelucuan itu sendiri melainkan sesuatu yang menjadi objek kelucuannya serta sikap yang ditawarkan dalam menghadapi kelucuan tersebut. Dalam pembahasan, aktifitas-aktifitas seperti kekerasan fisik, slapstick, intimidasi sosok inferior yang diwakili oleh waria, pendangkalan sensualitas sampai ke tingkat cabul menjadi serangkaian ‘kesalahan’ dalam epos Pembangunan yang mendeklarasikan dirinya sebagai wacana mencapai kesejahteraan bersama : dan global. Konten-konten ini terjadi tidak hanya dalam komedi Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain dengan citra dan narasi yang sama. Rangkaian ‘kesalahan’ ini menunjukkan adanya agenda : konsistensi terhadap suatu nilai tujuan yang dilakukan melalui penawaran kelucuan yang disusupi dalam komedi. Sasarannya : siapapun yang dapat mengakses film tersebut sehingga dengannya dapat menjadi partisan dalam narasi Pembangunan. Luas cakupan agenda ini menunjukkan konsentrasi wilayah dalam narasi Pembangunan. Namun permasalah terpenting adalah bagaimana gagasan kelucuan itu dapat ditularkan sehingga mampu menggiring selera secara massal, ketika setiap orang memiliki selera personal yang berbeda. Plato dalam Republik (1974 : 452) menyatakan bahwa objek dari humor adalah sesuatu yang bodoh dan buruk. Apabila seseorang menjadikan kegiranagn sebagai sebuah emosi, hal tersebut akan menjadikannya kehilangan terhadap kontrol diri sendiri. Senada dengan hal tersebut, penelitian Elaine Hatfield et.al (1993) menjelaskan bahwa emosi dapat menular sebagai kecenderungan seseorang secara otomatis meniru ekspresi, suara, postru dan gerakan orang lain untuk merasakan emosi yang sama. Hal ini dipertegas oleh penelitian lain oleh Geangu et.al (2010) dalam Infant Behaviour & Development yang melihat penularan emosi seperti ini dapat terjadi sejak masa awal kehidupannya, sejak bayi, sebagai bentuk mirroring dan empati. Sophie Scott dari University Collage London mempertegas lagi bahwa gestur yang dapat menularkan emosi kelucuan adalah melalui tawa, baik mimik wajah, ataupun intonasi suara yang redundan. Penularan ini disebabkan peran leksikon mental yang terdapat pada otak manusia dalam memahami bahasa Manusia. Dardjowidjojo (2014 : 162) menjelaskan bahwa leksikon mental dapat diibaratkan sebagai gudang dimana manusia menyimpan kata. Namun disebabkan ‘benda’ yang disimpannya adalah ‘kata’, maka cara memanggil ‘benda’ dalam gudang itu pun unik : melalui mantra-mantra : bunyi-bunyi, wujud fisik, wujud grafik, atau hubungan antara suatu ‘benda’ dengan ‘benda’ lain yang kemudian menimbulkan anggapan baru (added) terhadap suatu fenomena yang memanggilnya. Dalam konteks kelucuan pada media massa, penularan ini dilakukan dengan cara ‘menampilkan’ tawa : memperdengarkan suara tawa artificial pada suatu adegan yang seharusnya dianggap lucu, dengan begitu dapat menggiring emosi penonton untuk merasakannya sebagai sebuah kelucuan. Sebagian besar suara tawa yang diperdengarkan pada tayangan-tayangan komedi TV seperti Serial Mr.Bean, atau berbagai variety show modern merupakan suara tawa yang dihasilkan dari rekaman tawa orang-orang pada tahun 1950-an sehingga emosi yang ditularkan dari tawa tersebut, juga berasal dari emosi orang-orang yang menghadapi fenomena-fenomena yang terjadi di tahun tersebut. Metode ini pertama kali dilakukan oleh seorang sound engineer, Charley Douglass pada sebuah Stasiun TV, CBS di Amerika tahun 1950 yang merasa frustasi akibat tidak ada seorangpun yang tertawa selama berlangsungnya acara. Pada masa ini, penonton yang ‘menikmati’ tayangan kelucuan yang disajikan secara massal umumnya adalah masyarakat yang memiliki ketersediaan waktu untuk menikmati hiburan baik melalui televisi ataupun melalui tayangan Youtube. Tidak melulu masyarakat menengah ke bawah atau ke atas, siapapun dapat mengakses ide kelucuan ini selama ia memiliki waktu dan kuota. Pada masyarakat menengah atas khususnya, pemilik rumah yang memiliki kesibukkan dalam mencari nafkah keluarga sehingga benda-benda kekayaan seperti televisi akan lebih banyak digunakan oleh para pembantu dan mengambil peran sosok orang dewasa terhadap anak-anak yang ditinggalkan di rumah. Akibatnya, meskipun tingkat pendidikan yang tinggi pada orang-orang menengah ke atas, namun tetap saja pembangunan mental dan pendidikan anak usia dini, sebagai tunas partisipan dalam Pembangunan dilakukan oleh para penerima gagasan kelucuan melalui komedi televisi.

PERAN SENI DALAM PEMBANGUNAN

Seni dalam Pembangunan memiliki peran yang penting dalam membangun mental dan persepsi kolektif masyarakatnya ; baik sebagai pelaku, ataupun partisan. Dalam hal partisan, masyarakat berperan sebagai perpanjangan dan penyusun formasi kekuasaan dalam mempraktikkan agenda Pembangunan. Peran seni memiliki dualismenya tersendiri, tergantung kepada siapa kegiatan itu disajikan. Ia dapat menjadi sebuah kritik sosial, dapat pula menjadi media penggiringan opini. Sajian tentang ide kelucuan (humor) yang hadir melalui tayangan media massa merupakan salah satu ornament penting yang menyusun seni drama dalam bentuk komedi. Secara umum, kegiatan seni terbagi menjadi lima aliran besar : seni visual, seni gerak, seni bunyi dan suara, seni kriya dan cipta, serta seni drama yang merupakan gabungan dari keempat aliran besar sebelumnya sehingga seni drama juga disebut sebagai seni kolektif. Diskursus tentang seni drama (cinematography) dalam membentuk pola berfikir manusia pernah dikemukakan oleh Deleuze sebelumnya. Menurutnya, model berfikir diasosiasikan sebagai rhizome, jejaring akar berurat yang memiliki banyak cabang. Hal ini disebabkan ia melihat bahwa pemikiran adalah perihal bagaimana seseorang membuat relasi antara suatu konteks dengan konteks lainnya dalam sebuah arena imanen yang disebut imajinasi. Dalam cinema 1 (1983) Deleuze menjelaskan bahwa realitas adalah kumpulan citra yang bergerak (movement-image) dalam sebuah aliran waktu. Pengaruh pemikiran Kant tentang Das ding an sich mempengaruhi pandangan Deleuze sehingga ia melihat bahwa realitas film adalah realitas itu sendiri sebab memiliki citra bergerak yang otonom, serta waktu yang terwujud dalam durasi sehingga mempengaruhi wacana fikiran penontonnya. Inilah yang membedakan film sebagai citra yang bergerak dengan foto sebagai citra yang membeku. Imaji gerak memiliki tiga perwujudan dalam mempengaruhi penontonnya : imaji-aksi, imaji-afeksi, dan imaji-persepsi (Deleuze, 1983). Citra yang ditangkap melalui imajiner penonton mengkonstruksi wacana fikirannya dengan mengarahkan dan menentukan persepsi melalui penegasan-penegasan dan ornament dalam film. Secara sederhana, kesadaran penonton analog dengan apa yang disebut Deleuze sebagai kesadaran-kamera (camera-consciousness). Dalam mengarahkan wacana pemikiran penonton, film menyajikan rangkaian sensation dalam desire, serta keinginan dan kehendak pada cerita, dengan begitu ia terlibat dalam realitas film tersebut sehingga akhirnya membangun kesadaran baru ; kesadaran-kamera. Dalam Nietzsche and Philosophy (1983), Deleuze menjabarkan ‘art’ sebagai katagori dari ‘critique’, dimana ia meminjam pengamatan Nietzsche bahwa dunia adalah emosi dan sensorik, tetapi setiap ide diikat dalam sebuah struktur wacana yang terkembang. Kesadaran-kamera, seperti yang dinyatakan oleh Deleuze ini, menjadi bagian dari kesadaran individu yang terbentuk melalui kelucuan dalam tayangan komedi media massa, yang menjadi salah satu wacana pemikirannya dalam memahami perspektif Pembangunan secara lebih luas. Gagasan tentang Pembangunan meskipun secara normatif dapat difahami, namun wacana tentang sensation dan desire individu dalam berpartisipasi terhadap Pembangunan telah terbentuk, yang ter-embaded pada jaringan individu dalam membentuk sensation dan desire kolektif. Akibatnya, seindah apapun gagasan tentang Pembangunan dikumandangkan, aktifitas partisipan dalam Pembangunan tetap saja didorong oleh motif-motif tersebut. Namun apakah motif desire tersebut, benarkah ia muncul secara alami atau sebatas embaded? Dalam wacana kebudayaan massa sendiri, pemikir post-modern Baudrillard (1981) menyebutkan bahwa realitas seni humor pada era ini merupakan gabungan dari parodi  dan camp, dimana ia menjelaskan bahwa efek-efek kelucuan muncul dari absurditas yang dihasilkan dari distorsi, gangguan pada logika, terhadap realitas yang ada. Parodi selalu mengambil keuntungan dari bentuk, gaya, atau karya yang menjadi sasaran kelemahannya sebagai bentuk wacana yang memperalat wacana pihak lain. Sedangkan camp dijelaskan sebagai model estetika yang berangkat dari keartifisialan dan gaya (stylization) dan bukan keindahan itu sendiri. Seni dalam camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual dan dengan mengorbankan essence sehingga seringkali kegiatan seni camp mengorbankan objek-objek manusia, binatang atau tumbuhan sebagai subjek pertunjukkan yang memuaskan Hasrat penonton. Camp sendiri oleh Baudrillard dicirikan dengan upaya-upaya melakukan sesuatu dengan hiperbolik untuk menjadi berlebihan, spesial dan glamor. Dalam wacana art, camp dipandang sebagai bentuk dandyism kerena penampilannya yang menjunjung tinggi kecabulan.Maka, meskipun wacana pemikiran yang kritis dan kukuh secara ideologis adalah secara eksklusif pembentuk sekaligus perumus wacana Pembangunan, namun wacana pemikiran pada masyarakat massa sebagai partisipan mayor ini sebagai pelakunya akan membawa Pembangunan Dunia kemana?

2 views0 comments

Comments


bottom of page